Perlu Revolusi Mental Tahap Kedua
Perjalanan Penuh Nikmat tanpa SPPD
Jumat, 20 Mei 2011 – 01:20 WIB
Meski listrik sudah cukup, sebulan terakhir ini jumlah gangguannya masih 63 kali. Itu berarti setiap hari satu kali mati lampu di kawasan Kairatu. Semula saya merasa aneh mengapa kepala ranting PLN Kairatu tidak terlihat gelisah. Lalu, saya pun mengira-ngira: mungkin di dalam hatinya justru bangga. Bisa jadi dia punya pikiran bahwa gangguan yang 63 kali itu sudah merupakan prestasi. Ini terjadi karena dulu-dulunya gangguannya 102 kali sebulan!
Saya merenungkan dalam-dalam situasi seperti itu. Saya hampir tidak bisa tidur di sisa malam yang pendek itu. Saya memang tidak puas akan sikap mental yang tidak gelisah ketika melihat ada gangguan 63 kali sebulan. Apalagi, yang demikian itu menjadi gejala yang luas di luar Jawa. Tapi, di lain pihak saya bisa mengerti mengapa harus gelisah kalau jumlah gangguan itu sudah berhasil diturunkan secara drastis. Dari 102 kali ke 63 kali"
Walhasil PLN memang masih perlu melakukan revolusi mental tahap kedua. Revolusi mental tahap pertama sudah berhasil dilakukan tahun lalu: menyadari gangguan ratusan kali sebulan itu tidak boleh terjadi. Revolusi mental tahap kedua ini harus menghasilkan kesadaran bahwa mati lampu 63 kali itu pun belum bisa diterima masyarakat. Jumlah mati lampu sebanyak itu masih jauh daripada target hanya boleh sembilan kali setahun. PLN memang bertekad untuk membatasi jumlah mati lampu hanya sembilan kali per pelanggan per tahun untuk bisa disebut berhasil mengalahkan Malaysia.
Teman-teman PLN di Jawa/Bali sudah berhasil melakukan revolusi kedua itu. Tapi, saya melihat teman-teman PLN luar Jawa, baik di Indonesia Barat maupun Indonesia Timur, masih harus berjuang untuk menghadapi dan memenangkan revolusi kedua tersebut tahun ini. Termasuk, misalnya, yang terjadi di Palembang. Bagaimana bisa dan bagaimana masih terjadi di Palembang mati lampu, di satu lokasi, di dalam kota, yang sampai sembilan kali selama sebulan.