Perlukah Kebijakan Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Dilanjutkan?
jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau atau simplifikasi akan kembali dijalankan, sesuai Perpres 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024.
Beleid ini juga telah menjadi bagian dari rencana strategis ke depan yang tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 77 Tahun 2020.
Namun seberapa perlu kebijakan penyederhanaan ini kembali dijalankan?
Partner Research and Training Services DDTC Bawono Kristiaji menjelaskan bahwa sistem yang ada saat ini memang rumit dan perlu diperhatikan pengawasannya.
Meski Indonesia telah memangkas total layer tarif cukai hasil tembakau yang mencapai 19 layer pada 2010 menjadi tinggal 10 lapisan tarif CHT, namun lapisan tarif cukai tembakau masih perlu disimplifikasi lebih lanjut.
Karena itu Bawono memberikan dukungan kepada pemerintah agar tetap melanjutkan aturan yang sebelumnya juga tertuang dalam PMK 146 Tahun 2017.
"Simplifikasi tarif cukai hasil tembakau akan memberikan level playing field antar karakteristik industri hasil tembakau. Jadi antara karakteristik, pangsa pasar dan kemampuan ekonomis head-to-head supaya tidak terlalu banyak pihak yang memanfaatkan lapisan-lapisan tersebut," imbuh Bawono.
Sementara Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Willem Petrus Riwu memberikan pendapat yang berbeda.
Kebijakan cukai hasil tembakau tidak bisa dilepaskan dari tiga pilar yakni pengendalian konsumsi, penerimaan negara dan juga mencakup industri dan sektor ketenagakerjaan.
- Pemerintah Baru Diminta Libatkan Pemangku Kepentingan dalam Merumuskan Regulasi
- Presiden Prabowo Diharapkan Bisa Melindungi Kedaulatan Ekonomi Pertembakauan Nasional
- Rejo Ekspansi di Pasar Global, Hadir di World Tobacco Asia 2024
- Khawatir Bisa Mematikan Industri Tembakau, Apindo Tegas Menolak RPMK
- APTI Anggap PP 28/2024 dan RPMK Membunuh Petani Tembakau
- Regulasi Tembakau Kembali Menuai Kekhawatiran Industri