Pernikahan Anjing, Antara Kepekaan Sosial dan Konten Medsos
Oleh Dhimam Abror Djuraid
jpnn.com - Anjing adalah binatang yang unik karena bisa sangat dekat dengan manusia. Sangat banyak orang yang menyayangi anjing sampai menganggapnya sebagai bagian dari keluarga.
Akan tetapi, ada juga yang bersikap ekstrem terhadap anjing, bahkan menganggapnya sebagai bagian dari makanan sehari-hari.
Budaya memakan daging aning marak di Solo dan Jogja, juga di kalangan warga Batak. Di Jogja, diperkirakan 6.500 ekor anjing setiap bulan dipotong untuk dijual ke warung makan khusus daging anjing.
Tidak semua anjing itu dipotong. Sangat banyak yang dibunuh dengan cara dicekik atau dipukul menggunakan benda keras yang tumpul.
Menurut para penikmat kuliner anjing, membunuh dengan benda tumpul menjadikan daging anjing lebih nikmat karena tidak ada darah yang keluar.
Di Solo bertebaran warung-warung penjaja olahan daging anjing. Warung-warung itu secara terang-terangan memasang plakat di depan warungnya.
Ada yang menyebutnya sebagai ’warung sate jamu’. Ada juga yang menyebut ‘sate segawon’ karena merujuk pada sebutan anjing dalam bahasa Jawa kromo.
Kebiasaan makan daging anjing erat kaitannya dengan budaya abangan yang masih banyak pengikutnya di wilayah Jawa, terutama Jogja dan Solo.
Persoalan pernikahan anjing ini menunjukkan tiadanya sensitivitas atas kondisi sosial masyarakat. Demi konten medos, orang sering kehilangan kepekaan sosial.
- Rapat Bareng Baleg, DMFI Usul DPR Bisa Bahas RUU Pelarangan Perdagangan Daging Kucing
- PSI Kecam Rencana Eutanasia Anjing Jalanan di Bali
- Pemakan Anjing
- Anjing yang Serang Mak-mak Saat Olahraga di Semarang Disuntik Mati
- Mediasi Buntu, Polisi Turun Tangan dalam Kasus Anjing Serang Mak-mak di Semarang
- Rocco’s Bark Day Fun Run Bakal Digelar, Pencinta Anjing Merapat