Pesantren Al Hidayah, Mengikis Dendam Anak Para Teroris
Selanjutnya, Gazali pun membawa anak-anak mantan teroris tinggal di pesantren kecil tersebut. Ada 10 anak yang menjadi santri. Mereka berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Yang paling banyak dari Medan.
Masuk 2017, dia membangun asrama lagi. Santri pun bertambah menjadi 20 orang sampai sekarang. Tapi, kemudian muncul penolakan dari sebagian warga.
Papan nama pesantren dua kali dirusak orang. Mereka menganggap pesantren tersebut akan dijadikan sarang teroris. Gazali pun melaporkan kejadian itu ke polisi.
Akhirnya, polisi memberikan pemahaman kepada masyarakat. Bahwa yang akan dilakukan di pondok tersebut justru program deradikalisasi.
***
Pesan itu berkali-kali ditekankan Gazali kepada saya sebelum mengisi kelas. ’’Tolong, jangan ditanyakan tentang orang tua mereka. Apalagi tanya bagaimana ayah mereka meninggal,’’ katanya.
Dia terus mewanti-wanti itu karena selain tak sejalan dengan semangat deradikalisasi, juga berdasar pengalaman tak mengenakkan. Suatu waktu, tutur dia, pernah seorang jurnalis datang ke Pesantren Al Hidayah bersama rombongan pejabat.
Wartawan itu menemui seorang santri dan langsung bertanya tentang nama orang tua dan seperti apa sepak terjang mereka selama menjadi teroris. Dan yang paling mengoyak jiwa anak-anak adalah ketika si wartawan itu bertanya bagaimana orang tua mereka meninggal.
Pesantren Al Hidayah, tempat anak-anak pelaku tindak terorisme diajari deradikalisasi, mengikis dendam dan rasa benci.
- BNPT Dorong Kolaborasi Multipihak untuk Cegah Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme
- Peringati Hari Pahlawan, Yayasan Gema Salam Wujudkan Semangat Nasionalisme
- Datangi Indekos, Densus 88 Antiteror Lakukan Tindakan, Apa yang Didapat?
- BNPT Beri Perlindungan Khusus Kepada Anak Korban Terorisme
- Irjen Eddy Hartono Jadi Kepala BNPT, Sahroni Minta Lanjutkan Pencapaian Zero Terrorist Attack
- Densus 88 Tangkap 2 Terduga Teroris Jaringan JAD di Bima