Petani Garam Meradang, Gemerincing Ringgit Lebih Menggiurkan

Petani Garam Meradang, Gemerincing Ringgit Lebih Menggiurkan
Tambak garam. Foto: Dok. Timor Express/JPNN.com

Kondisi seperti ini kata Inaq Saheam bukan hanya dialami sekarang. Bahkan, hal ini kata dia sudah berlangsung dalam tiga tahun terakhir.

Belakangan, bahan baku didatangkan dari Tanjung Luar, Lombok Timur. Biasanya secara berkala, bahan baku itu datang ke Cemare dalam wujud sudah dimasukkan dalam karung-karung. Namun, sudah dua pekan terakhir, bahan baku dari Lotim itu pun tak datang lagi.

Kalaupun ada bahan baku yang datang, harganya sudah selangit. Tadinya sekarung bahan baku dari Tanjung Luar itu dengan diterima di Cemare sebesar Rp 60 ribu. “Sekarang Rp 350 ribu per karung,” katanya.

Karena itu, mau tidak mau, Saheam pun harus menaikkan harga jual. Yang biasanya Rp 40 ribu untuk satu karung ukuran 15 kg, saat ini menjadi Rp 150 ribu untuk ukuran yang sama.

Petani Garam Tak Bergairah

Langkanya bahan baku garam di tengah potensi yang demikian besar, tentu saja menyebabkan tanda tanya terlontar. Ada apa sebenarnya? Lombok Post menemukan, betapa petani garam di NTB memang nyaris tak pernah bergairah.

Segudang persoalan harus dihadapi petani. Di antaranya kualitas produksi garam yang dihasilkan masih tergolong KW-II dan KW-III. Sehingga masih perlu pengolahan lebih, agar bisa bersaing di pasar.

Di sisi lain, harga garam di tingkat petani juga sangat rendah. Pada saat panen harga garam selalu anjlok. Garam kasar pada musim panen harganya cuma Rp 350 – Rp 500 per kg. Saat musim hujan, memang naik. Namun, kisarannya baru hanya Rp 750 - Rp 1500 per kg.

Mengurus garam saja, pemerintah tak kuasa. Padahal, barang asin ini tak tergantikan di meja makan. Kala garam langka, harga menjulang meraja lela.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News