Petani Organik Kalbar Terhambat Sertifikasi
Rabu, 19 Oktober 2011 – 10:29 WIB
Siwi memiliki lahan sewa seluas 1.000 meter persegi dan satu hektare lahan bagi hasil. Untuk sekali panen bisa menghasilkan tujuh ton beras. Tiap dua tahun, dia bisa memetik hasil panen hingga lima kali. Teknik penggarapannya pun dilakukan dengan menerapkan sistem kemandirian. Misalnya, bibit dan pupuk dikelola sendiri secara swadaya.
“Kalau produk kami ditolak pasar, kadang saya menggerutu sendiri. Mereka ini mau beli produk atau membeli sertifikat. Tapi saya menyadari, semua itu bisa teratasi jika ada dukungan regulasi pertanian dari para pengambil kebijakan,” jelas Siwi.
Direktur Eksekutif Aliansi Organis Indonesia (AOI) Rasdi Wangsa menilai, keluhan petani organik itu adalah potret lemahnya dukungan regulasi terhadap para petani organik di Indonesia. “Ini menjadi agenda utama perjuangan AOI untuk mengawal kebijakan agar memberikan dukungan penuh pada petani organik,” ujarnya.
Rasdi mengatakan, saat ini ada sekitar 50 ribu petani organik di Indonesia yang sedang menanti dukungan kebijakan itu. Dalam rapat umum anggota ini, juga akan dicari formulasi baru yang dapat mendukung kemandirian mereka dalam menjalankan aktivitas sehari-hari sebagai petani yang berdaulat. (*/r)
PONTIANAK - Potensi pertanian organik yang besar masih terbentur mekanisme pasar sebagai akibat dari regulasi yang belum berpihak pada petani di
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
BERITA TERKAIT
- Disapu Banjir Bandang, 10 Rumah di Tapsel Sumut Hanyut
- Heboh Anggaran Belanja Gamis & Jilbab Senilai Rp 1 M Lebih di Kabupaten Banggai
- Kunker ke Riau, Menteri Hanif Faisol Tutup TPA Liar di Kampar
- 209 Warga Terdampak Pergerakan Tanah di Kadupandak Dievakuasi
- Ombudsman Minta Polda Sumbar Ungkap Motif Kasus Polisi Tembak Polisi Secara Transparan
- Lulus SKD, 163 Pelamar CPNS Batam Lanjut ke Tahap SKB