Piala Dunia untuk Celeng
Oleh Dahlan Iskan
Padahal kalau 12 remaja itu ditanya, saya yakin yang ingin pergi ke Moskow 24. Menyusul Bonita (Bonek Wanita) Via Vallen yang sudah terbang ke Moskow. ”Mereka biar nonton di layar teve saja,” ujar penguasa.
Sebenarnya ada alasan yang lebih mendasar: mereka tidak akan bisa pergi ke luar negeri. Asisten pelatih itu ternyata diketahui tidak punya KTP. Tidak punya kewarganegaraan. Tidak punya negara.
Demikian juga tiga di antara remaja itu: tidak punya kewarganegaraan. Tidak mungkin bisa mengurus paspor.
Mereka adalah penduduk pegunungan. Di pojok perbatasan tiga negara: Thailand, Myanmar dan Tiongkok. Mereka dari suku minoritas Thai Lue. Yang sudah berada di situ turun-temurun. Bahkan mungkin sejak sebelum ada negara.
Bagi suku ini batas negara itu tidak ada. Semua ini tanah Tuhan. Ribuan orang yang statusnya mirip mereka itu.
Yang jelas orang tua mereka boleh bepergian di dalam negeri. Termasuk untuk menengok anaknya. Di rumah sakit ibu kota provinsi. Dari jarah jauh. Dibatasi oleh kaca jendela.
Mereka sendiri memang bangga dengan julukan celeng: larinya cepat, pemberani, nekat dan berlemak. Celeng berbeda dengan babi piaraan: gendut, malas dan banyak lemaknya.
Keberanian itu yang membuat mereka berani bertualang ke gua yang berbahaya itu: panjang (12 km), bercabang-cabang, berliku, naik turun, melebar-menyempit dan ini dia: di beberapa bagian turunnya sangat dalam.