Pidana Mati Dalam KUHP
Oleh I Wayan Sudirta - Anggota Komisi III DPR RI
Hingga saat ini pengaturan mengenai Hukuman Mati (Pidana mati atau Death Penalty/ Capital Punishment) masih menjadi pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat dunia.
Terjadi perbedaan dalam pemberlakuan pidana mati disesuaikan dengan modernisasi dan perkembangan masyarakat, sebagian negara masih memberlakukan hukuman pidana mati (retentionist) dan negara yang menghapus hukuman mati (abolist).
Perkembangan di dunia hukum terutama tentang hukuman (Criminal Punishment) membuat negara-negara di dunia saat ini terbelah menjadi tiga kelompok besar yakni retentionist, abolist, dan conditional (dengan syarat-syarat tertentu).
Namun pada prinsipnya, sejak ditandatanganinya Convention Against Torture, Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, negara-negara di dunia mengakui bahwa sesuai dengan prinsip penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, perlu dilakukan pembaharuan terhadap sistem pemidanaan atau penghukuman pada sistem peradilan pidana baik sebelum maupun jatuhnya pemidanaan.
Dengan begitu, hampir di seluruh negara-negara yang masih memberlakukan penjatuhan hukuman mati pun berubah lebih “manusiawi” atau tidak menggunakan metode-metode yang sadistik, seperti Pancung, Sengatan Listrik, Gantung, Rajam, Kamar Gas, atau dengan hewan (seperti diinjak gajah).
KUHP merupakan rekodifikasi terhadap tindak pidana baik konvensional maupun tindak pidana yang selama ini berkembang dan diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain itu KUHP juga mengatur hal-hal baru, seperti perubahan terhadap konsep sistem pertanggungjawaban pidana, penerapan asas legalitas yang non-absolut atau terbuka dengan pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat, dan reorientasi sistem pemidanaan yang lebih “memasyarakatkan” atau tujuan pembinaan.
Reorientasi tersebut terkait dengan penerapan prinsip Restorative Justice (Keadilan Restoratif) daripada Retributive (Keadilan Retributif) atau prinsip balas dendam. Prinsip inilah yang penting untuk digarisbawahi dalam KUHP saat ini.
Pembahasan mengenai pidana mati dalam hukum pidana di Indonesia kembali terjadi. Putusan pidana mati pada kasus Irjen mengakibatkan pro dan kontra.
- Usut Tuntas Kasus Penembakan Polisi di Solok Selatan: Menunggu Implementasi Revolusi Mental Polri
- DPR Dukung Penuh Menko Polkam Lindungi Pelajar dari Judi Online
- Cucun Hadiri Kolaborasi Medsos DPR RI dengan Masyarakat Digital di Lembang
- SHP Pemprov Bali Belum Dicoret dari Daftar Aset, Wayan Sudirta DPR Minta Penjabat Gubernur Taati Hukum
- Melly Goeslaw: Revisi UU Hak Cipta Solusi Hadapi Kemajuan Platform Digital
- Komisi III DPR Menghadapi Dilema dalam Memilih Pimpinan dan Dewas KPK, Apa Itu?