Pidana Mati Dalam KUHP

Oleh I Wayan Sudirta - Anggota Komisi III DPR RI

Pidana Mati Dalam KUHP
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta. Foto: Dokumentasi pribadi

Teori Pemberlakuan Hukuman Mati

Tidak seluruh negara di dunia setuju untuk menghapus pidana mati. Terdapat negara-negara yang saat ini masih memberlakukan hukuman mati seperti di China, India, Amerika Serikat 2/3 negara bagian masih memberlakukan hukuman mati)[2], dan sebagian negara di Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Karakteristik di berbagai negara pun berbeda-beda.

Pendukung dari pemberlakuan hukuman mati ini berpendapat bahwa tindak pidana tertentu perlu diancam dengan hukuman mati.

Negara India contohnya berkembang pendapat masyarakat bahwa perlunya pemberlakuan pidana mati bagi pelaku kejahatan perkosaan.

Bahkan saat ini berkembang opini besar dari masyarakat di Afrika Selatan untuk mengembalikan hukuman atau pidana mati dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku di Afrika Selatan.

Di Amerika Serikat bahkan responden untuk tetap memberlakukan hukuman mati tetap tinggi (65%).

Preseden dalam Furman v. Georgia tidak lagi digunakan dalam dalam kasus Gregg v. Georgia[3] di tahun 1976 oleh the US Supreme Court, yang mengambil pandangan yang berlawanan dengan preseden terdahulu.

Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim dalam US Supreme Court berpendapat bahwa hukuman mati tidak melanggar Amendemen Kedelapan maupun Keempatbelas Konsitusi Amerika Serikat, sepanjang hukuman mati tersebut dituangkan dalam sebuah peraturan perundangan yang memastikan bahwa otoritas hukum (termasuk pengadilan) memiliki informasi, bukti, serta prosedur beracara yang memadai untuk sampai pada putusan mereka.

Pembahasan mengenai pidana mati dalam hukum pidana di Indonesia kembali terjadi. Putusan pidana mati pada kasus Irjen mengakibatkan pro dan kontra.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News