Piket Nol

Piket Nol
Dahlan Iskan (berkaus hitam di tengah) bersama Durian Travellers. Foto: disway.id

Saya belum pernah melewati jalur itu. Itulah jalur yang disebut lewat Piket Nol.

Saya tidak menyangka jalur antar-kecamatan ini padat dengan kendaraan truk. Kelihatannya ekonomi berkembang baik di pelosok ini.

Di sepanjang jalan, saya melihat pohon sengon di mana-mana. Di lereng-lereng bukit. Petani memilih menanam sengon. Yang setelah lima tahun bisa dipanen: dijadikan bahan baku industri kayu.

Setelah tiga jam perjalanan, tibalah di Piket Nol. Langit bermendung hitam. Matahari kian menyenja.

Saya belum menulis artikel Disway. Pun belum memilih komentar pilihan.

Itu cukup alasan untuk berhenti. Biarlah istri jalan-jalan di Piket Nol. Saya duduk di atas batu besar. Di tebing batu yang tinggi.

Di situlah saya menulis naskah. Di HP tercinta ini. Juga membaca semua komentar sampai jam itu.

Ternyata istri tahu sendiri ke mana dan di mana pemandangan terbaik. Saya menyusul: ternyata ke jembatan lama yang sudah tidak dipergunakan lagi.

Makan durian itu harus seperti makan es krim. Dicucup lembut, halus, sedikit sedikit, dengan bibir dan lidah, sambil mata agak terpejam.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News