Pikiran Besar di Kota Kecil (1)
Sebagaimana Hati Saya, Kendari Benar-Benar Berbeda
Kamis, 25 Juni 2009 – 06:18 WIB
SAYA pernah tergeletak kelelahan di ruang tunggu yang pengap, sempit, dan kotor menunggu keberangkatan pesawat yang akan membawa saya ke Makassar dan Ambon. Kejadiannya sekitar enam tahun lalu, ketika pesawat mengalami keterlambatan selama dua jam di bandara Kendari.
Saat itu, ternyata saya sebenarnya sudah mulai sakit, namun tidak pernah saya rasakan. Mestinya hati saya sudah terkena sirosis, mengeras dan sudah mulai tumbuh bibit-bibit kankernya. Namun, saya tidak tahu semua itu. Kelelahan yang saya rasakan di ruang tunggu itu semula hanya saya anggap sebagai akibat kurang tidur dan perjalanan panjang ke beberapa kota sebelumnya.
Baca Juga:
Pekan lalu, saya kembali lagi ke Kendari, yang menjadi ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara. Semuanya sudah berubah. Bandara lama yang parah itu sudah diganti dengan bandara baru yang indah. Tidak besar, tapi cantik dan modern. Cukuplah untuk kepentingan Kendari sampai lima tahun ke depan.
Penerbangan juga sudah begitu banyak sehingga kalau ada pesawat yang terlambat pun masih ada pilihan untuk "loncat" ke pesawat yang lain. Jalan menuju bandara itu juga sudah disiapkan sangat lebar sehingga tidak akan mengalami kesulitan kalau arus lalu lintas meningkat drastis di kemudian hari.