Pikul Lumpia
Oleh: Dahlan Iskan
Malam sebelumnya saya memang ikut mbakar tiga hio besar dua kali. Yakni, saat ikut sembahyang berjamaah. Yang pertama di depan dewa yang di halaman. Yang kedua di depan altar dalam Kelenteng Tay Kak Sie.
Baru sekali ini saya melihat ada sembahyang di kelenteng secara berjamaah. Yang biasa saya lihat dilakukan sendiri-sendiri –sesuai permintaan masing-masing.
Sembahyang berjamaah itu tidak pakai imam. Ketua kelenteng berdiri di tengah. Di barisan depan. Saya diminta juga di saf depan. Saya lirik kanan kiri agar tidak ada gerakan yang salah.
"Imam" di sembahyang itu adalah penata ibadah. Semacam MC. Gerakan sembahyangnya mengikuti komando MC dari pengeras suara –dalam bahasa Tionghoa.
Sembahyang diawali dengan pembagian hio. Ukuran sebesar pensil. Bukan yang seukuran lidi. Masing-masing tiga hio.
Ini bukan kali pertama saya pegang hio. Ujungnya sudah membara. Saya pun menerimanya dengan cara biasa: memegang bagian bawahnya. Ups... Aduh! Panas!
Hampir saja hio terlepas. Ternyata hio itu dibakar di dua sisinya. Jari saya memegang api itu!
Saya tahan rasa sakit. Saya jaga wajah untuk tetap tersenyum. Baru sekali ini saya tahu ada hio dibakar dua ujungnya.