Pilkada Sehat Berbudaya, Tanpa Brutus dan Malinkundang
Oleh: Yusuf Susilo Hartono (Bidang Pendidikan, Pelatihan dan Sosialisasi Mappilu PWI)
Sementara yang sembuh (kita bersyukur) sekitar 210.000 jiwa. Kita semua khawatir, akan tersebut akan bertambah seiring dengan proses kampanye Pilkada yang dalam pelaksanaannya di lapangan diwarnai banyak pelanggaran, khususnya terkait protokol kesehatan, dan lemahnya penegakan hukum.
Seperti kita tahu, semua informasi sudah disampaikan melalui berbagai jalur “Bahasa” (tulis, visual, grafik, lisan, tubuh, isyarat, dll). Juga melalui berbagai jenis dan platform media massa maupun media sosial. Bahkan Presiden Jokowi sendiri hingga “meniren” omong soal 3 M ini. Tetapi tetap saja masih banyak orang yang tidak patuh dan melanggarnya.
Lalu apanya yang salah dong! Apa yang membuat masyarakat sulit atau tidak mau “mengubah” perilakunya? Jawabannya tentu saja banyak. Diberbagai webinar hal ini juga sering dikupas. Bisa jadi karena pilihan “bahasa”-nya tidak tepat. Atau cara penyampaiannya yang salah. Atau karena ada factor-faktor khusus: misalnya “perlawanan pasif”, tidak percaya pada otoritas, hingga karena dogma tertentu. Atau syahwat politik ingin berkuasa yang sudah demikian membara?
Mungkinkah sebagai alat penyampai pesan kini “Bahasa kekuasaan”, berada pada titik “kegagapan”, “kegamangan”dan “kurang dipercaya” di tengah pandemic Covid 19?
Ataukah pada saat ini bahasanya itu sendiri, kini sedang melakukan protes. Maklum, Bahasa Indonesia dalam konteks kekuasaan – Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, Orde Repotnasi sekarang ini – telah dipakai dengan otoritas pemaknaan tergantung kepentingan sang penguasa?
Dalam konteks hari ini, boleh jadi si Bahasa itu ingin dikembalikan pada pengertian akal budinya Kata dan angka agar diperlakukan secara bermartabat, murni dan konsekuen. Bahasa, kata dan angka, tidak dijadikan acrobat matematika baru yang konyol, bahkan jadi dongeng yang meninggalkan luka sejarah kebangsaan.
Anda tentu masih ingat, dalam Pemilu silam, 1+1 yang seharusnya 2, tetapi bisa dibahasakan menjadi 11. 9+1 = 10 bisa dibahasakan 91. Sungguh kita semua tidak mau pada Pilkada serentak di 270 daerah saat ini, masih ada dan terjadi plintiran bahasa-kata-dan angka, “acrobat matematika siluman” muncul pada saat penghitungan suara di TPS-TPS. Lalu solusinya apa? Mari kita tulus. Dalam menghadapi syahwat kekuasaan di tengah pandemic ini.
Setiap Pemilu, termasuk Pilkada, syahwat kekuasan memerlukan kontrol yang ketat dari media dan pers. Maka dalam konteks “Pilkada sehat berbudaya”, kita tidak boleh memberi ruang pada para Brutus dan Malinkundang. Adalah tugas para wartawan dari pusat sampai pelosok Indonesia, wajib menghalau Brutus-brutus dan Malinkundang-malinkundang itu dari gelanggang perpolitikan Tanah Air.
Setiap Pemilu, termasuk Pilkada, syahwat kekuasan memerlukan kontrol yang ketat dari media dan pers. Dalam konteks 'Pilkada sehat berbudaya', tidak boleh memberi ruang pada para Brutus dan Malinkundang.
- Pilgub NTB: Pasangan Ini Mengeklaim Menang, Lihat Datanya
- Maximus dan Peggi Klaim Kemenangan di Mimika
- Kapolres Rohil Pantau Penghitungan Suara di PPK Seusai Pilkada
- Habiburokhman Cap Hoaks Informasi Cawe-Cawe Parcok Pas Pilkada
- Sebegini Petugas KPPS yang Wafat pada Pilkada Serentak 2024
- Banyak Orang Jakarta Golput saat Pilgub, KPU DKI Bakal Evaluasi