Pilot Demokrasi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Pilot Demokrasi
Presiden Jokowi. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

Sebaliknya, program yang ditawarkan oleh calon pilot kedua sangatlah menarik. Semua penumpang pesawat pasti ingin naik kelas eksekutif atau kelas bisnis yang nyaman.

Karena itu tawaran program calon pilot nomor dua sangat menarik, meskipun sebenarnya sang kandidat tidak mempunyai kemampuan kompetensi dasar mengenai penerbangan, dan tidak tahu mengenai aturannya.

Dalam sistem pemilihan demokrasi liberal langsung pilot kedua akan mudah memenangkan pemilihan.

Apalagi jika para penumpang mempunyai tingkat pengetahuan dan pendidikan yang tidak terlalu tinggi, janji-janji yang muluk itu pasti jauh lebih menarik ketimbang janji yang lebih rasional.

Singkat cerita, pilot kedua terpilih secara landslide, dengan selisih suara yang sangat besar. Dia terpilih menjadi pilot dan penerbangan akan dimulai. 

Akan tetapi, mungkinkan semua penumpang akan naik ke kelas eksekutif? Janji-janji kampanye akan tetap menjadi janji kampanye.

Itulah tamsil demokrasi dalam metafora pilot pesawat itu. Dalam sistem pemilihan demokrasi liberal, sering kali terjadi seorang pilot yang tidak kompeten terpilih menjadi pemimpin penerbangan.

Calon pemimpin yang berkampanye tidak dilihat dari programnya yang realistis dan rasional, tetapi dari janji-janji politik yang lebih mengaduk suasana emosional.

Pernyataan dalam pidato Presiden Jokowi itu ibarat menepuk air di dulang tepercik muka sendiri.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News