Pilpres 2019 Diprediksi Panas Mirip Pilkada DKI

Padahal, basis demokrasi adalah rasionalitas yang mengukur kapasitas calon berdasar kemampuan, bukan atas dasar kesamaan agama atau etnik.
’’Kalau kemudian pilkada basisnya lebih kepada sentimen primordial, tentu kualitas demokrasinya mengalami penurunan sebab kinerja seseorang menjadi tidak bernilai,’’ ucapnya.
Kenyataannya, politik identitas tidak bisa dilarang. Namun, dari segi demokrasi, itu sebuah kemunduran. Karena itu, Haris menilai perlu ada penyeimbang.
Yakni dengan pendidikan politik kebangsaan dan kewarganegaraan supaya pengaruh politik identitas tidak terlalu besar.
Memang jangka waktunya cukup pendek untuk mengantisipasi hingga Pilkada 2018. Dibutuhkan waktu lama untuk menanamkan nilai-nilai tersebut. Tetapi, menurut dia, itu harus diupayakan.
’’Supaya referensi pemilih tidak pada identitas caleg atau paslon, tapi lebih pada gagasannya, ide yang ditawarkannya. (Ini jadi) tanggung jawab negara, pemerintah. Sebab, penting pendidikan pemilih untuk mencerdaskan kehidupan politik bangsa kita,’’ ungkap Haris. (dna/JPG/c19/agm)
Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan, politik identitas atau politisasi agama diprediksi menguat
Redaktur & Reporter : Soetomo
- Ahli Kepemiluan Usul Ambang Batas Maksimal 50 Persen di Pilpres dan Pilkada
- KLB Gerindra Putuskan Prabowo Maju Capres 2029, Haryara Tambunan Merespons, Simak
- Jumlah Anggota Koalisi Parpol di Pilpres Perlu Diatur Mencegah Dominasi
- MK Hapus Presidential Threshold, Gibran Berpeluang Melawan Prabowo di 2029
- Bahlil Yakin Ridwan Kamil Menang 1 Putaran, Sama Seperti Prabowo di Pilpres
- Gibran Diduga Mulai Bersiap untuk Pilpres 2029, Indikasi Berani Menelikung Prabowo?