PLN Bak Buah Simalakama
Jumat, 26 Maret 2010 – 15:30 WIB
Tak perlu diperdebatkan lagi, listrik adalah hajat hidup orang banyak dan merupakan sektor vital dan strategis yang harus dikuasai oleh negara, dalam hal ini melalui PLN.
Tapi mengapa, untuk kasus di Medan, juga di Aceh serta di luar Pulau Jawa lainnya, kerap byar-pet? Padahal, PLN berfungsi, antara lain sebagai Public Service Obligation (PSO). Fungsi ini adalah perintah dari konstitusi, sebuah dasar hukum paling tertinggi di negeri ini. Indonesia bukan cuma Jakarta, tetapi dari Aceh hingga Papua adalah sebuah negeri dan bangsa di bawah bendera NKRI.
PLN sebagai BUMN, berdasarkan UUD 1945, meski tetap mencari untung, tetapi sejak awal Indonesia merdeka tidak didirikan (untuk) menjadi sebuah perusahaan yang kapitalistik. Jika PLN disebut merugi, itu adalah ukuran kapitalistik dan bukan ukuran konstitusi. Karena itu, seberapa mahal pun biaya untuk membangun mesin pembangkit listrik yang baru, adalah tanggung-jawab pemerintah melalui PLN.
Bersama DPR, pemerintah harus berani menunda proyek yang tak mendesak, dan dananya dialokasikan untuk proyek skala prioritas, termasuk mesin pembangkit yang kronis di berbagai provinsi. Sebab, merehabilitasi mesin tua pasti riskan gagal dan akibatnya mengalami kerugian. Tragisnya, malah dituduh korupsi. Padahal mesin tua itu tak layak lagi dan tak perlu diperbaiki.