Polemik Jawa Satu Abad
Rabu, 01 Desember 2010 – 18:18 WIB
Saya tak terbayangkan sekiranya ucapan itu dilontarkan oleh Gerung dan Gonggong, yang bukan seorang Jawa. Wah, apa kata dunia? Mungkin, akan meletus geger antro-politik. Apalagi jika dilontarkan oleh seorang M. Jusuf Kalla, yang berasal dari Makassar, atau Akbar Tandjung, seorang Batak Pesisir dari Sibolga menjelang pemanasan Pemilihan Presiden pada 2009 silam.
Terlepas dari deklarasi politik Sri Sultan yang kala itu siap dicalonkan menjadi Calon Presiden pada 2009, kita semakin yakin bahwa nasionalisme 1908, 1928 dan 1945, tak lagi diragukan. Menjadi orang Indonesia tidak menghapus historis bahwa Sultan adalah orang Jawa. Dalam frame Mangunwijaya, Sultan telah menjadi mahluk pasca-Jawa. Ibarat seorang penyandang S-3 tetap saja berhak memakai gelar S-2 dan S-1.
Kala itu, Sultan berani blak-blakan menyempal dari kultur Jawa yang introvert dan lazimnya menyukai bahasa simbol yang implisit. Penampilan Sultan ketika ia mendeklarasikan dirinya siap menjadi Calon Presiden, terkesan ekstrovert layaknya seorang Batak atau Bugis. Rada mirip dengan Amien Rais, mantan Ketua MPR yang pernah dijuluki seorang “Baso” alias Batak-Solo itu. “Saya siap kalah,” kata Sultan. Toh, jabatan presiden bukanlah demi semata kekuasaan. Melainkan demi rakyat. Sekiranya ia menjadi presiden, ia minta rakyat, apalagi yang beretnik Jawa, jangan marah jika “raja”-nya dikritik. Sultan atau presiden, adalah insan biasa. Bukan dewa. Sayang, kala itu, Sri Sultan belum berpeluang menjadi Calon Presiden.
***