Polemik Jawa Satu Abad

Polemik Jawa Satu Abad
Polemik Jawa Satu Abad
Dua tahun kemudian, Presiden SBY melontarkan wacana pemilihan Gubernur DIY yang demokratis, dipilih rakyat dalam Pilkada seperti halnya di seluruh daerah di Indonesia, dan tak lagi melalui penetapan yang otomatis mengangkat Sri Sultan. Namun kritik dan “perlawanan” terdengar dari berbagai penjuru. Tak terkecuali dari para pakar, dengan seluruh argumentasinya.

Lepas dari prokontra itu, sebuah bangsa selalu bergerak ke depan. Jika pun menoleh ke masa silam, bukan berarti hendak melestarikan semua system nilainya yang tidak sesuai dengan semangat masa depan. Namun mencuplik substansi dan nilainya yang tak lekang oleh zaman adalah sebuah keharusan.

Tak bisa dimungkiri bahwa Sri Sultan HB IX adalah seorang republik yang sangat nasionalis. Dia sediakan Yogyakarta sebagai ibukota republic ketika wilayah Indonesia hatta tinggal ”sepayung” dan selebihnya dikuasai oleh Kolonial Belanda. Tetapi apakah nilai yang kita kagumi itu akan hilang jika sekiranya Gubernur DIY dipilih secara demokratis, dan tak lagi ditetapkan seperti selama ini? Tidak! Sejarah masa lalu tak bisa diubah, seperti halnya Indonesia pernah menganut system parlementer dan bentuk Negara RIS (Republik Indonesia Serikat). Yang bisa diubah adalah masa depan, sebagaimana bangsa ini sudah berkali-kali mengandemen berbagai pasal dalam UUD 1945.

Semua daerah mempunyai masa lampau, termasuk pernah menjadi kerajaan, seperti Kesultanan Deli di Medan, Sultan Siak di Riau, juga di Aceh yang terkenal di masa Sultan Iskandar Muda. Juga di Kalimantan, Bali, Sulawesi, Ternate dan sebagainya. Namun semua daerah itu yang pernah terhimpun dalam RIS merelakan “masa silamnya” ketika pilihan kepada NKRI makin menghunjam, termasuk kembali ke UUD 1945 pada 1959 lalu. Panta re, semua selalu mengalir. Apakah keistimewaan DIY tetap dipertahankan? Saya kira ya. Mungkin pada system kepemilikan tanah, dan kebudayaannya. Seperti halnya keistimewaan Naggroe Aceh Darussalam dengan syariat Islam, Jakarta sebagai ibukota sehingga sejumlah walikotanya tidak dipilih, melainkan diangkat.

SYAHDAN, sembilan puluh dua tahun kemudian, hari-hari ini, perdebatan Tjipto Mangoenkoesoemo yang “nasionalis” dan Soetatmo Soerjokoesoemo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News