Polemik Jilbab dan Realitas Politik

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Polemik Jilbab dan Realitas Politik
Gubernur Anies Baswedan, Ferry Farhati, dan besan berfoto bersama Presiden Jokowi dan Ibu Iriana saat malam resepsi Mutiara Annisa Baswedan-Ali Saleh di Candi Bentar Hall, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (29/7). Foto: dokumentasi Pemprov DKI.

Debat jilbab menjadi simbol pertarungan antara sekularisasi dan formalisasi agama di Indonesia sampai sekarang. 

Kasus seorang siswa SMA di Bantul yang dikabarkan dipaksa memakai jilbab dengan cepat menjadi kontroversi nasional.

Sukmawati Soekarnoputri memperbandingkan jilbab dengan konde dan suara kidung dengan azan.

Perbandingan ini menimbulkan kontroversi yang panas karena memperhadapkan agama dengan budaya.

Dua faktor itu selalu diperhadapkan secara diametral dan seolah-olah tidak bisa dipertemukan.

Jilbab adalah sebuah identitas. Dengan berjilbab, seorang wanita muslimah bisa mengidentifikasikan dirinya dari wanita lain yang bukan muslimah. Karena itu, ketika masalah ini diusik lagi sebagian kalangan muslim langsung menyala panas karena menganggapnya sebagai ancaman terhadap identitas.

Politik identitas atau politik aliran menjadi perdebatan sepanjang zaman. Di Indonesia, perdebatan soal politik identitas lebih fokus pada isu politisasi Islam dan islamisasi politik. 

Islam politik membawa aspirasi kuat untuk menjadi dasar negara yang diperdebatkan dengan sangat keras oleh para founding fathers menjelang kemerdekaan Indonesia, 1945.

Debat jilbab menjadi simbol pertarungan antara sekularisasi dan formalisasi agama di Indonesia sampai sekarang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News