Polemik Jilbab dan Realitas Politik

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Polemik Jilbab dan Realitas Politik
Gubernur Anies Baswedan, Ferry Farhati, dan besan berfoto bersama Presiden Jokowi dan Ibu Iriana saat malam resepsi Mutiara Annisa Baswedan-Ali Saleh di Candi Bentar Hall, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (29/7). Foto: dokumentasi Pemprov DKI.

Pancasila diterima sebagai dasar negara dan Ketuhanan Yang Maha Esa ditaruh di posisi tertinggi nomor satu. Namun, itu belum cukup. Kalangan Islam masih minta supaya ada tambahan tujuh kata “dan kewajiban menjalankan syariah bagi pemeluk Islam”. 

Tujuh kata itu seperti “seven magnificent” yang menjadi perdebatan keras dan mengancam kemerdekaan dan pembentukan negara Indonesia yang bersatu.

Politik identitas terjadi seluruh dunia dan belakangan memperoleh momentumnya kembali. 

Donald Trump di Amerika memainkan politik identitas yang keras. Donald Trump di Amerika mengusung semboyan ”America First”, utamakan Amerika yang berkulit putih dan jangan mengurusi orang lain yang masuk ke Amerika. 

Trump rupanya lupa bahwa kaumnya yang berkulit putih itu juga pendatang dari Inggris pada abad ke-18.

Trump kalah oleh Joe Biden pada Pilpres 2019, tetapi Trump tidak menyerah. 

Sampai sekarang Trump masih terus melawan Biden dan tidak mengakui kekalahannya. Trump menganggap kekalahannya terjadi karena kecurangan penghitungan.

Sekarang Trump bersiap-siap untuk bertarung lagi pada Pilpres 2024 dan peluangnya masih tetap terbuka.

Debat jilbab menjadi simbol pertarungan antara sekularisasi dan formalisasi agama di Indonesia sampai sekarang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News