Polemik Kebijakan Penghapusan Penjurusan SMA

Oleh: Odemus Bei Witono - Direktur Perkumpulan Strada dan Kandidat Doktor Filsafat STF Driyarkara

Polemik Kebijakan Penghapusan Penjurusan SMA
Direktur Perkumpulan Strada dan Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara Jakarta Odemus Bei Witono. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Artikel kolom karya Fajar S Dwi Putra di Kompas (19 Juli 2024), berjudul "Penghapusan Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa: Menggali Potensi Peserta Didik," memicu diskusi yang mendalam mengenai arah pendidikan Indonesia.

Di balik gagasan progresif ini, terdapat berbagai pertanyaan kritis tentang validitas dan dampak jangka panjangnya.

Kebijakan ini dilihat sebagai langkah revolusioner yang sejalan dengan Kurikulum Merdeka, membuka peluang eksplorasi minat dan bakat siswa tanpa belenggu struktur penjurusan yang kaku.

Namun, apakah keputusan menghapus penjurusan benar-benar solusi terbaik? Selama puluhan tahun, penjurusan telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan kita.

Pertanyaannya: apakah selama ini para akademisi gagal melihat kekurangan mendasar dalam sistem tersebut? Dan, jika sekarang dianggap usang, bagaimana kita mengukur keberhasilannya di masa lalu?

Selain itu, penting untuk menyoroti bagaimana kebijakan ini akan memengaruhi kesiapan guru, kurikulum, dan sistem evaluasi.

Tanpa pertimbangan matang, fleksibilitas yang diharapkan justru bisa menciptakan kebingungan, terutama bagi siswa yang masih mencari jati diri akademis mereka.

Risiko lain yang harus diperhitungkan adalah hilangnya fokus bagi siswa yang ingin mendalami disiplin tertentu, yang penting untuk pendidikan lanjutan dan dunia kerja.

Artikel berjudul 'Penghapusan Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa: Menggali Potensi Peserta Didik' memicu diskusi yang mendalam mengenai arah pendidikan Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News