Polemik Kebijakan Penghapusan Penjurusan SMA

Oleh: Odemus Bei Witono - Direktur Perkumpulan Strada dan Kandidat Doktor Filsafat STF Driyarkara

Polemik Kebijakan Penghapusan Penjurusan SMA
Direktur Perkumpulan Strada dan Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara Jakarta Odemus Bei Witono. Foto: Dokumentasi pribadi

Namun, menghapus penjurusan saja tidak cukup untuk mengatasi stereotip ini. Masalah stereotip lebih berkaitan dengan persepsi masyarakat dan sistem pendidikan yang mengedepankan prestasi akademik dalam kerangka tertentu.

Upaya yang lebih efektif adalah mengubah paradigma pendidikan dan pola pikir masyarakat mengenai pentingnya berbagai disiplin ilmu, daripada sekadar menghapus penjurusan.

Ketiga, meskipun pembelajaran fleksibel dan pendekatan lintas disiplin diperlukan di era globalisasi, penghapusan penjurusan tanpa mempertimbangkan kesiapan infrastruktur pendidikan dan kompetensi guru dapat menimbulkan masalah baru.

Artikel tersebut seolah-olah mengasumsikan bahwa semua sekolah siap mengadopsi personalized learning, padahal banyak sekolah di Indonesia masih menghadapi keterbatasan fasilitas dan sumber daya.

Tanpa dukungan yang cukup, kebijakan ini justru bisa memperlebar kesenjangan pendidikan antara sekolah di perkotaan dan pedesaan.

Sebagai catatan akhir, meskipun penghapusan penjurusan bertujuan untuk menghasilkan pendidikan lebih inklusif dan fleksibel, penerapan kebijakan ini harus dilakukan dengan hati-hati.

Tantangan-tantangan seperti kesiapan infrastruktur, kompetensi guru, dan perubahan paradigma masyarakat harus diatasi terlebih dahulu.

Jika tidak diperhatikan, kebijakan ini berpotensi menghadapi hambatan yang signifikan dalam implementasinya.

Artikel berjudul 'Penghapusan Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa: Menggali Potensi Peserta Didik' memicu diskusi yang mendalam mengenai arah pendidikan Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News