Politikus PSI: Ada Sejumlah Pasal di RKUHP Berpotensi Memecah Belah Bangsa
jpnn.com, JAKARTA - Politikus PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Rian Ernest mendesak DPR menunda pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ). Alasannya, terdapat sejumlah pasal yang dapat memecah belah bangsa.
"Bahwa rancangan KUHP ini apabila disahkan dengan yang ada sekarang berpotensi memecah belah bangsa," ujar Rian di Jakarta, Senin (23/9).
Menurut dia, dalam rancangan KUHP yang akan disahkan oleh DPR, terdapat sejumlah pasal yang dinilai bermasalah. Salah satunya mengenai pemberlakukan pasal penodaan agama yang dianggap masih sangat karet dan multitafsir.
"Interpretasinya tergantung perasaan beragama orang per orang yang pasti beda. Kenapa tidak dibuat yang lebih jelas," ucap wakil ketua DPW PSI DKI Jakarta itu.
Poin pasal lainnya yang juga dianggap bermasalah adalah pengadopsian "living law" (hukum yang hidup di tengah masyarakat) yang berpotensi memecah belah, serta intervensi undang-undang yang terlalu jauh masuk ke ranah privat masyarakat.
Rian mendesak agar DPR menunda pengesahan rancangan KUHP, untuk kemudian dibahas kembali pada periode DPR berikutnya dengan melibatkan lebih banyak pihak.
"Teman-teman di DPR dan pemerintah lebih membuka lagi ruang dialog dengan masyarakat, buka pasal-pasalnya, unggah di daring, terima masukan dari masyarakat, akademisi, penggiat, ini saya yakin naskahnya akan lebih baik lagi" ucap dia.
Rian juga mengingatkan kepada DPR agar agar tidak menjadikan rancangan KUHP sebagai warisan pada periode saat ini.
Politikus PSI Rian Ernest mendesak pengesahan RKUHP alias Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditunda saja.
- Ngobrol Politik Lebih Dekat dengan Tsamara Amany dan Rian Ernest
- Rian Ernest Merapat ke Golkar, Kang Emil Bilang Begini
- Bahas RKUHP soal Check-In, Komisi.co Bikin Mengakak
- KUHP Baru Tidak Memengaruhi Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Bali
- Pasca-RKUHP Disahkan, Tito Sebut Bandara Soetta Didominasi Wisatawan Asia Tenggara
- Rencana Pembentukan Dewan Keamanan Nasional Dinilai Minim Partisipasi Publik