Porang Hidup
Oleh: Dahlan Iskan
Ketika harga porang jatuh keluhan utamanya: belum ada pabrik tepung porang di dalam negeri. Ada. Baru dua. Tidak bisa menyerap produksi porang yang "meledak" di mana-mana.
Waktu itu, yang ada, lebih banyak pabrik pembuat chip: ubi porang diiris-iris, dikeringkan, diekspor dalam bentuk chip.
Kadang proses pengeringannya kurang baik: muncul jamur. Bahaya bagi kesehatan.
Ekspor porang Indonesia pun jatuh. Mengalami nasib yang serupa dengan ekspor sarang burung –ketika ada pengusaha sarang burung yang memakai kimia untuk pemutih.
Sebelum Covid-19 harga porang juga tinggi. Meski belum sampai Rp 12.500 tetapi sudah bikin mata berubah hijau.
Kalau di masa lalu saya harus kampanye agar petani mau tanam porang, dengan harga segitu tidak diperlukan kampanye apa pun: para petani emosi. Ramai-ramai tanam porang.
Harga benih pun melambung. Sampai Rp 150.000/kg. Tidak masuk akal. Namun, ditabrak juga. Akibatnya biaya produksi naik drastis.
Yang semula saya hanya menganjurkan tanam porang di tanah tidak subur kalah oleh emosi. Tanah subur pun diubah jadi kebun porang.
Maka terjadilah apa yang harus terjadi: pabrik kekurangan bahan baku porang. Harga melambung. Begitulah hidup. Semua ingin cari hidup.
- Begini Cara Bea Cukai Dorong UMKM Go International
- Gandeng Bulog, PT GSI Ekspor Produk Kelautan dan Perikanan
- Pemakan Anjing
- 1 Jam Setelah Paparan, Produsen Strip Steel Ini Dapat Izin Kawasan Berikat dari Bea Cukai
- Didukung Bea Cukai Malang, UMKM Ini Sukses Ekspor Jaket Keselamatan ke Singapura
- Pemerintah Buka Keran Ekspor Pasir Laut, Ancaman Kepunahan Mengintai