Porang Kultur Jaringan
Oleh Dahlan Iskan
Minggu lalu saya menghadiri satu forum ulama dan habaib yang tertarik bergiat di bidang pertanian. Yakni di pondok pesantren Riyadlul Jannah, Pacet, Mojokerto. Pondok besar itu dipimpin KH. Mahfudz Syaubari.
Hadir juga di situ Heppy Trenggono. Dalam posisinya sebagai presiden Indonesian Islamic Business Forum (IIBF). Ia adalah pendiri YP3I bersama Kiai Mahfudz Syaubari, Marzuki Alie, Prof Ahmad Zahro, dan alm Gus Sholah.
Rupanya ia tahu bahwa saya sering memperhatikan porang. Maka soal kultur jaringan itu ia sampaikan di forum ulama tersebut.
Sebenarnya topik pertemuan hari itu bukan porang. Para ulama itu lagi membahas gerakan tani dari pesantren. Termasuk gerakan santri tani.
Beberapa profesor ahli pertanian ikut hadir di forum Jumat lalu itu.
Kiai Mahfudz-lah yang punya gagasan santri tani itu. Saya akan menuliskannya secara khusus kelak, setelah program ini sukses.
Kalau benar bahwa pembibitan porang sudah bisa dilakukan secara kultur jaringan, maka porang akan memasuki babak baru: kapitalisme. Siapa pun akan bisa menanam porang dalam skala besar.
Selama ini pengembangan tanaman porang memang terhambat oleh kelangkaan bibit. Harga benih pun bisa sampai Rp 200.000/kg. Padahal untuk satu hektare porang diperlukan 250 kg.