Positivisasi Etika Lawan Manipulasi Hukum

Oleh: Benny Susetyo - Pakar Komunikasi Politik

Positivisasi Etika Lawan Manipulasi Hukum
Pakar Komunikasi Politik Benny Susetyo. Foto: Dokumentasi pribadi

Dalam upaya memperkuat supremasi etika dalam hukum, memisahkan peradilan hukum dan peradilan etika adalah langkah yang mendesak. Kasus di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjadi bukti bahwa sistem hukum kita belum mampu memisahkan ranah etika dari ranah hukum.

Keputusan yang bersifat etis seharusnya berdiri sendiri, tidak tunduk pada koreksi peradilan hukum.

Kerapuhan ini menunjukkan bahwa budaya hukum di Indonesia masih rentan karena krisis keteladanan.

Ketika para pemimpin yang seharusnya menjadi panutan justru terlibat dalam skandal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, masyarakat kehilangan figur untuk dijadikan contoh.

Bagaimana mungkin masyarakat diminta untuk mematuhi hukum dan berperilaku etis ketika mereka melihat para penyelenggara negara melanggar nilai-nilai dasar yang mereka anjurkan?

Krisis keteladanan ini menciptakan celah besar dalam tatanan hukum dan demokrasi. Hukum, yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak rakyat, malah dijadikan alat untuk menekan lawan politik dan memperkuat kekuasaan.

Ketika hukum diperalat untuk melanggengkan kekuasaan, bukan hanya tatanan demokrasi yang terancam, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan pemerintahan.

Hanya dengan keteladanan yang kuat dari para pemimpin, nilai-nilai etika dapat mengakar di semua lapisan masyarakat, dan hukum dapat kembali berfungsi sesuai dengan tujuan aslinya: menegakkan keadilan.

Dalam lanskap politik Indonesia yang makin rapuh dan sarat dengan kepentingan pribadi dan kelompok elite, hukum yang seharusnya menjadi penopang keadilan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News