Potensi Industri Fesyen Indonesia Besar, Desainer Malah Kesulitan, Ada Apa? 

Potensi Industri Fesyen Indonesia Besar, Desainer Malah Kesulitan, Ada Apa? 
Foto bersama desainer, pelaku industri mode, dan media di acara JF3 Talk Vol. 2. Foto dok. JF3

"Kritikus fesyen ini harus independen, sebaliknya bagi para desainer jangan anti-kritik," tegasnya. 

Syahmedi Dean, pengamat dan jurnalis fesyen, serta Editor-in-chief Luxina.id  menyoroti perilaku konsumen mode Jakarta yang sangat unik. 

Karakter konsumen Indonesia khususnya Jakarta suka dengan mode yang semarak, mudah bosan. Berbeda dengan konsumen di Paris yang suka mode simpel dan sederhana, tetapi detail.

"Di Paris, desainernya berani "memarahi" tukang jahitnya demi mendapatkan produk berkualitas. Indonesia kebalikannya, desainnya bagus, jahitannya kurang rapih karena desainer takut mengkritisi tukang jahit karena alasan sulit cari SDM, " tuturnya. 

Sulitnya mengembangkan industri fesyen di Indonesia juga dirasakan Hartono Gan,  desainer ternama. Dia mengaku sulitnya berkarya dan berbisnis mode di era media sosial. 

Hartono, bahkan saat 5 tahun pertama membangun bisnisnya harus mengeluarkan modal sendiri untuk memasarkan produknya. 

Dimulai dengan menjual baju Rp1,5 juta, hanya ikut satu show. Kemudian di show berikutnya dia bisa menjual baju hingga Rp15 juta. 

"Banyak desainer yang lebih fokus memperluas pasar dengan membuat gimmick promosi tidak sehat ketimbang fokus pada kualitas karya, " ucapnya. 

Potensi industri fesyen Indonesia sangat besar, tetapi para desainer malah kesulitan untuk menaklukkan pasar fashion Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News