Presiden yang Naik Kelas
Jumat, 03 Juli 2009 – 22:07 WIB
Masalah kita selama ini memang rada unik. Seakan-akan presiden terpilih dari partai tertentu, hanyalah presiden pendukung partai itu saja, sedang yang bukan, silakan minggir. Tak heran jika ada istilah oposisi, yang sebenarnya tak dikenal dalam system politik kita. Yang ada, misalnya di DPR, adalah check and balances. Bukan oposisi.
Mekanisme check and blances semestinya tak hanya dianut oleh partai-partai yang Capresnya kalah dalam Pilpres. Melainkan oleh segenap anggota DPR, tanpa pandang bulu. Mekanisme itu sehat adanya. Bukan mekanisme perseteruan, dan bukan pula mekanisme persekutuan.
Presiden terpilih pun harus menyadari bahwa dirinya adalah presiden republik ini. Bukan presiden partai pendukungnya. Sikap eksklusif itu tak menandai jatidiri seorang negarawan. Bukankah ada adagium, kesetiaanku kepada partai berakhir ketika kesetiaan kepada Negara telah dimulai?
Presiden Soeharto kendati pun dengan alasan dan setting politik yang berbeda, malah melakukannya. Beberapa kali Soeharto mengangkat menteri dari PPP dan PDI, rival politiknya dalam Pemilu. Memang, Golkar pada masa Orde Baru adalah single majority, mutlak menguasai parlemen. Beda dengan peta politik sekarang yang menganut system multipartai.