Prestasi Kaum Neolib
Oleh; Ichsanuddin Noorsy
jpnn.com - MENJELANG terbentuknya kabinet baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), sejumlah kalangan risau karena parlemen dikuasai Koalisi Merah Putih yang nota bene di bawah pengaruh Prabowo Soebianto, anak Soemitro Djojohadikusumo. Saya merespon bahwa kerisauan itu tidak perlu terjadi sepanjang Jokowi-JK konsisten dengan visi misinya, yang lebih dikenal dengan Trisakti.
Tapi kebanyakan orang lalai, Trisakti sebenarnya telah berganti dengan Nawacita, sembilan cita-cita JW-JK. Untungnya di dalam Nawacita itu masih terdapat kata “kemandirian ekonomi” walau dipersempit dengan kata-kata, “menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”.
Kerisauan akan konsistensi pada kata-kata Trisakti mulai muncul sejak gagas mengurangi subsidi BBM mengemuka. Tanpa kejelasan berapa biaya pokok produksi pada kilang sendiri dan berapa biaya pokok impor, banyak kalangan setuju dengan pengurangan subsidi dan hasil pengurangan itu dialihkan ke sektor produktif.
Mereka yang setuju nyaris tidak pernah menggugat kenapa subsidi BBM di APBN meningkat bersamaan dengan posisi PT Pertamina masuk dalam 500 perusahaan yang mempunyai kinerja keuangan yang baik menurut majalah Forbes. Kenapa APBN terseok-seok soal “belanja” BBM, sebaliknya PT Pertamina malah masuk dalam perusahaan yang kinclong.
Ekonom-ekonom bernama besar di negeri ini pun lebih sibuk bicara defisit transaksi berjalan karena tekanan impor migas. Karena defisit ini juga menekan defisit perdagangan, maka orang mengambil jalan pintas: konversikan beban APBN ke masyarakat dengan cara mengurangi subsidi. Bersamaan dengan menguatnya kegaduhan politik karena keberhasilan memilih sistem politik liberal, isu subsidi menyurut.
Orang mendapat petanda, November 2014 nanti harga Premium RON 88 akan menjadi Rp 9.500 per liter karena subsidi dikurangi Rp3.000. Sekali lagi, mereka tidak menjelaskan berapa sebenarnya subsidi Premium RON 88 perliter. Lalu masyarakat terdiam. Media massa beralih isu ke pertarungan Parlemen. “Markas besar Lenteng Agung” yang awalnya tidak nyaman dengan pengurangan subsidi ini pun disibukkan dengan perebutan kursi di parlemen.
Beriring dengan masalah itu, rekrutmen posisi menteri dan lembaga pemerintah terus berjalan. Alokasi 34 kursi Menteri dan 3 kursi Menko pun bergeser menjadi 33 kursi Menteri dan 4 kursi Menko hanya karena tidak mau sama dengan postur Kabinet SBY.
Bersamaan dengan rekrutmen itulah nama-nama menteri dari kalangan neoliberal mencuat. Sebutlah Sri Mulyani, atau yang lainnya dan mereka yang beraroma kelompok PSI pun menjadi pembicaraan dan pemberitaan media massa. Lagi-lagi kerisauan mengiringi kemunculan nama-nama itu.
MENJELANG terbentuknya kabinet baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), sejumlah kalangan risau karena parlemen dikuasai Koalisi
- Migrants Day 2024, Menakar Urgensi Pendidikan Tinggi bagi Pekerja Migran Indonesia
- Sidang Adat di Balai Panjang Tanah Periuk Jambi Selalu Terjaga hingga Kini
- Catatan Politik Senayan: Penegakan Hukum yang Tidak Melecehkan Rasa Keadilan
- Bantu Rakyat ala Helmi Hasan
- Mengurai Solusi Kekerasan Seksual Anak
- Brengkes Ikan, Cara Perempuan Menyangga Kebudayaan