Pria Beristri 39 dan Bercucu 127 Jadi Incaran Para Caleg
Warna-warni Pemilu di India, Afghanistan, dan Korea Utara
jpnn.com - EUFORIA pemilu tahun ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Tiga negara lain juga melangsungkan pesta demokrasi tersebut. Yaitu, India, Afghanistan, dan Korea Utara (Korut). Negara-negara memiliki kisah sendiri-sendiri. Baik itu tentang konsep pemilihan, perebutan kekuasaan, maupun ingar-bingar perayaannya.
Misalnya di India, Pemilu belum selesai. Meski berlangsung Senin lalu (7/4), negeri yang dikenal dengan film Bollywood-nya itu melangsungkan pemilu terbesar di dunia. Sebanyak 814 juta penduduk diperkirakan memberikan suara untuk memilih pemimpin India lima tahun ke depan. Karena banyaknya pemilih itu, pemilu di negeri tersebut tidak bisa dilakukan secara serentak. Namun, dibagi sembilan tahap.
Pelaksanaannya pun tidak hanya sehari, namun lima hari dan baru selesai (12/4). Sebanyak 930 ribu tempat pemungutan suara (TPS) juga dibentuk untuk memfasilitasi pengambilan suara. Penghitungan suara akan dilakukan 16 Mei. Salah satu yang mengakibatkan jumlah pemilih di India membengkak ialah belum berjalannya program keluarga berencana (KB). Buntutnya, dalam satu keluarga, pemilih bisa mencapai 5–10 orang.
Salah seorang pemilih yang terbilang tidak biasa adalah Zionnghaka Chana. Pria penganut poligami itu memiliki 39 istri dan 127 anak cucu. Chana yang tinggal di Mizoram itu menjadi perhatian khusus bagi calon legislatif (caleg) yang akan mencalonkan diri. Sebab, keluarganya punya tradisi unik. “Ketika kami memilih, kami selalu mendukung satu kandidat yang sama dalam satu partai,” jelas pria 70 tahun itu.
Itu berarti caleg maupun partai yang dipilih bisa mendapat 167 suara sekaligus. Tidak jelas apakah Partai Kongres, Partai Hindu Nasionalis, atau Bharatiya Janata Party (BJP) yang dipilih keluarga tersebut. Sama dengan di Indonesia, para pemilih di India juga mendapat banyak iming-iming. Dengan sekadar menunjukkan jari yang bertinta tanda sudah mencoblos, mereka bisa mendapatkan diskon di berbagai tempat.
Misalnya, di restoran, spa, dan pompa bensin. Gagasan itu dicetuskan kelompok yang menamakan diri Pemuda India. Mereka menggandeng Asosiasi Perdagangan dan Perindustrian di India. Dengan slogan “tunjukkan jari dan harga akan turun”, mereka mencoba mengajak seluruh warga India untuk menentukan nasib bangsa.
“Ini kewajiban moral dan sosial kami untuk mendorong rakyat India ikut pemilu,” ujar Sekretaris Umum Federasi Penjual Bensin India Ajay Bansal. Seluruh pompa bensin di India memberikan diskon 0,7 persen kepada pemilih dengan menunjukkan jari yang bertinta. Tidak hanya euforia yang terasa dalam pemilu di India. Banyak pihak yang juga merasa deg-degan atas hasil akhir pemilu kali ini.
Sebab, BJP yang mengusung Narendra Modi sedang menghimpun kekuatan untuk menggulingkan Partai Kongres. BJP menjanjikan untuk meningkatkan perekonomian India dan membuka banyak lapangan kerja. Namun, Modi juga menjadi pencetus ketakutan tersendiri bagi warga minoritas Islam di India. Pasalnya, selama ini Modi dikenal tidak terlalu menyukai warga muslim di India.
Dia bahkan pernah ditangkap dengan tuduhan menghasut kerusuhan Islam-Hindu di Gujarat pada 2002. Ribuan orang Hindu dan Islam tewas dalam kerusuhan tersebut. Namun, Mahkamah Agung India membebaskan Modi. Baru-baru ini Perdana Menteri Manmohan Singh menyatakan jika Narendra Modi dari BJP menjadi perdana menteri, itu akan menjadi bencana bagi India.
Modi harus bersabar sebulan lagi untuk melihat apakah dirinya berpeluang menjadi perdana menteri atau tidak. Di sisi lain, pemilu di Afghanistan terbilang lancar. Meskipun, penembakan dan kekacauan mewarnai di berbagai titik negara yang sedang berkonflik tersebut. Banyak pihak yang menyatakan bahwa pemilihan presiden di Afghanistan pada Sabtu lalu (5/4) berlangsung sukses.
Itu jika dibandingkan dengan pemilu 2009, yang banyak terjadi kekacauan. Berdasar data yang dirilis pemerintah Afghanistan, hingga kemarin, tidak ada kandidat yang berselisih tentang kotak suara. Padahal, pada 2009, perselisihan yang berkaitan dengan kecurangan pada balot yang terdapat di kotak suara cukup tinggi.
“Skala kecurangan dan kekerasan pada pemilu kali ini jauh lebih rendah ketimbang pemilu sebelumnya,” ujar Juru Bicara Komisi Komplain untuk Pemilu Independen Nader Mohseni. Dua hari setelah pemilu tercatat hanya 1.573 orang yang mengirimkan komplain pemilu ke komisi itu. Jumlah tersebut termasuk kecil jika dibandingkan dengan jumlah pemilih yang mencapai 7,5 juta penduduk.
Pada pemilu 2009, setelah pemilihan langsung ada 2.842 komplain. Salah satu yang membuat pemilu kali ini sukses mungkin adalah penggunaan teknologi elektronik canggih. Pemilih tinggal menekan layar kandidat yang akan dipilih. Berbagai hasil hitung cepat dari tiga kandidat yang bertarung sudah muncul. Yaitu, Abdullah Abdullah meraih 50 persen suara, Ashraf Ghani Ahmadzai 38 persen, dan Zalmai Rassoul 10 persen.
Namun, para kandidat tidak bisa mengklaim kemenangan. Berdasar aturan di Afghanistan, kandidat tidak boleh mengklaim kemenangan sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil akhir secara resmi. Yaitu, pada 24 April nanti. Korut: Pemilu = Sensus Tak Resmi Meski berlabel republik, sebutan negeri diktator tidak lepas dari Korea Utara (Korut). Namun, mereka juga memiliki pemilihan umum (pemilu) karena republik.
Meski namanya pemilu, itu ya pemilu-pemiluan. Dengan jumlah angka kehadiran pemilih yang mencapai 99,98 persen, kandidat untuk mengisi kursi parlemen telah dipilih sebelum pelaksanaan pemilu. Berlangsung pada awal Minggu (9/3), parlemen memilih presiden mereka sebulan kemudian, tepatnya Rabu (9/4). Pilihan mereka sudah pasti jatuh pada Kim Jong un.
“Terpilihnya” Kim sebagai presiden dilakukan pada sesi pertama sidang ke-13 Dewan Rakyat. Kim yang juga menjadi pemimpin militer Korut mendapat sambutan meriah dari anggota parlemen. Bagi warga Korut, pemilu tersebut merupakan topeng dari sensus tidak resmi. “Sudah pasti kami tidak melakukan apapun yang ’diharamkan’.
Misalnya, tidak memilih calon yang ada di dalam kertas suara atau mencoret nama-nama yang tidak kami sukai,’’ ujar seorang pelarian Korut, Mina Yoon. Mina menyatakan, inti pemilu tersebut sebenarnya sensus. "Jika ada di dalam negeri, sudah pasti kami akan datang memilih. Mereka yang tidak datang dalam pemilu umumnya yang memilih bermigrasi,’’ jelas Mina.
Memang, banyak warga Korut yang mencari suaka ke negara lain. Sebagian besar di antaranya memilih jalur tidak resmi. Misalnya, menyelundup masuk ke negeri tetangga. Salah satu yang sering jadi rujukan adalah Tiongkok. Sebab, Tiongkok berbatasan langsung dengan Korut. ’’Pemerintah memiliki daftar pemilih.
"Jika nama Anda tidak ada atau ada nama Anda tetapi Anda tidak ada, mereka akan melakukan penyelidikan," ungkapnya kepada harian The Telegraph. "Saat pemilu itu, pemerintah akan mengetahui siapa saja yang sudah melarikan diri dari Korut,’’ tambah Mina. Andrei Lankov, ahli Korut dari Universitas Kookmin di Seoul, Korea Selatan, menyatakan tujuan utama pemilu Korut adalah melegitimasi rezim yang sudah ada.
"Memang, ini analogi yang salah. Tidak semestinya kita membandingkan pemimpin negara dengan Hitler. Tetapi, Hitler pun punya pemilu," kata Lankov. Yang resmi, Korut merupakan negara republik dan republik seharusnya melakukan pemilu.
Lankov menuturkan, dengan mendapatkan suara 99 persen, masyarakat berarti memilih pemimpin yang sudah ada. "Ini legitimasi. Legitimasi untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka merupakan pemerintahan yang paling populer di dunia," paparnya.(CNN/Channel News/c15/tia)
EUFORIA pemilu tahun ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Tiga negara lain juga melangsungkan pesta demokrasi tersebut. Yaitu, India, Afghanistan,
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Trump Berambisi Rampas Terusan Panama, Begini Reaksi China
- Donald Trump Berkuasa Lagi, Jenis Kelamin Bakal Jadi Urusan Negara
- Batal Bertemu, PM Malaysia Ungkap Kondisi Kesehatan Prabowo
- Momen Erdogan Walk Out saat Presiden Prabowo Berpidato dalam Forum KTT D-8
- Dokter Asal Arab Saudi Pelaku Serangan yang Menewaskan 2 Orang di Pasar Natal
- Pengelolaan Perbatasan RI-PNG Jadi Sorotan Utama di Sidang ke 38 JBC