Problem Susu Etawa di Bukit Menoreh

Problem Susu Etawa di Bukit Menoreh
Problem Susu Etawa di Bukit Menoreh
Program tersebut memang sangat berhasil. Di antara 23 orang yang tergabung dalam kelompok Ngudi Luwih, tidak satu pun yang gagal. Semua kambing mereka berkembang. Semuanya mampu membayar cicilan pertama sebesar Rp 5 juta. 

 

Kalau toh ada yang belum memuaskan, program itu belum menyentuh penduduk termiskin di desa tersebut.  Soal itulah yang kala itu kami obrolkan sampai malam: bagaimana penduduk termiskin bisa dientas lewat program yang sama. Menurut Pak Lurah, masih ada 100 KK (di antara 350) yang sangat miskin. Seratus KK tersebut kami kelompokkan: mana yang bisa segera ditangani dan mana yang harus tahap berikutnya.

 

Ternyata, ada 40 KK yang bisa segera dibikinkan program yang sama. Pak Lurah bersama penduduk yang sudah terbukti mampu mengembangkan kambing sepakat untuk bersama-sama menuntun 40 orang itu. "Baik, Pak. Kami akan ikut membina mereka," ujar Pak Lurah.

 

Awalnya, bantuan tersebut ditawarkan kepada siapa saja di desa itu. Tentu harus untuk membeli kambing etawa. Sebab, memelihara etawa sudah mendarah daging di pegunungan itu. Sudah sejak zaman Belanda. Tapi, ternyata, mereka yang tergolong termiskin tersebut tidak mau mendaftar. 

 

SUDAH terlalu malam ketika saya tiba di Sumowono, sebuah desa di gugusan Bukit Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah. Sudah terlalu gelap untuk bisa melihat

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News