Prof Ida Nurlinda: Pembahasan RUU Pertanahan Cenderung Eksklusif
jpnn.com, JAKARTA - Dukungan dari kalangan akademisi Fakultas Kehutanan terus bertambah agar DPR dan Pemerintah membahas ulang RUU Pertanahan dan tidak mengesahkannya pada DPR periode ini. Kali ini, Guru Besar Ilmu Hukum Agraria Universitas Padjajaran, Bandung Ida Nurlinda menyatakan sangat setuju bila pengesahan RUU Pertanahan ditunda.
“RUU Pertanahan harus ditunda dan dikembalikan kepada semangat yang terkandung dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, di mana pada hakekatnya penyusunan RUU Pertanahan memperhatikan prinsip-prinsip pembaruan agraria sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 dan arah kebijakan pembaruan agraria sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,” ujar Ida Nurlinda, Sabtu (27/7) menanggapi wacana yang berkembang di masyarakat agar pengesahan RUU Pertanahan perlu ditunda.
Lebih lanjut, Ida Nurlinda mengatakan RUU Pertanahan merupakan usul inisiatif DPR dan diinisiasi sudah cukup lama yakni tahun 2012. Pada awalnya substansi pengaturannya tidak melebar seperti saat ini. Namun setelah DIM pemerintah masuk, ruang lingkup pengaturan RUU Pertanahan menjadi sangat melebar.
“Substansi pengaturan yang melebar seharusnya pembahasan, penggodokan melibatkan banyak pihak yang terkait dengan substansi pengaturan tersebut. Namun kenyataannya pembahasan RUU ini cenderung eksklusif tidak melibatkan partisipasi pihak-pihak terkait secara maksimal. Tidak saja partisipasi di interen pemerintah yang kewenangannya terkait/bersinggungan dengan aspek pertanahan, akan tetapi juga diinteren DPR itu sendiri,” ujarnya.
RUU Pertanaha, lanjut Ida, dimaksudkan untuk melengkapi dan memperkuat UUPA, dimaksudkan sebagai lex spesialis dari UUPA yang merupakan lex generalis-nya. Namun substansinya justru banyak hal yang bertentangan dengan UUPA, sehingga melemahkan kedudukan UUPA itu sendiri. Misalnya pemberian HGU yang didahului dengan pemberian hak pengelolaan.
Hal ini jelas tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUPA yang menegaskan bahwa HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Dalam PP No. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara, pengertian tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Demikian juga halnya dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai menegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah negara.
Contoh lain, misalnya memberikan hak pengelolaan pada kawasan hutan. Tentu hal ini dapat mengubah tatanan sistem hukum sumber daya alam, karena secara prinsip hal ini berbeda. Pada hukum kehutanan kita berbicaranya dalam perspektif kawasan, sedangkan hak pengelolaan tentu kita berbicara dalam konteks tanah sebagai suatu hamparan/permukaan bumi sebagaimana ditegaskan dalam UUPA.
Picu Ketimpangan
Guru Besar Fakultas Kehutanan Unpad, Bandung Ida Nurlinda menyatakan sangat setuju bila pengesahan RUU Pertanahan ditunda.
- Peringatan HANTARU 2024, Menteri AHY: UUPA jadi Momentum Kebangkitan
- Bicara UU Pemerintahan Aceh, Prof Yusril Siap Membantu
- Peringati Hari Tani Nasional, Rizal Ramli Sebut UUPA Era Soekarno
- GMNI Sesalkan RUU Pertanahan Masuk Prolegnas RUU Prioritas 2020
- Mahasiswa Desak Pemerintah Tolak Revisi UU Pertanahan
- Soal RUU Pertanahan, Hakam Naja: Kami Tunggu Saja Sikap Pemerintah