Profesor Joki
Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Di Indonesia marak gelar doktor honoris causa (HC), gelar doktor kehormatan yang diberikan kepada seseorang tanpa harus susah-susah sekolah.
Gelar doktor kehormatan ini diberikan kepada seseorang karena dianggap punya keahlian selevel doktor, atau punya jasa yang besar di bidang keilmuan tertentu. Akan tetapi, praktiknya malah banyak yang jual beli gelar HC, atau gelar kehormatan yang bermotivasi politik.
Sisa-sisa feodalisme yang masih kental di lingkungan kita menjadikan gelar sebagai hal yang penting dan bergengsi.
Seseorang yang merasa berdarah biru, keturunan ningrat akan selalu memasang gelar “R”, Raden, di depan namanya.
Seseorang lainnya yang tidak punya darah ningrat ikut-ikutan menempelkan gelar “R” di depan namanya.
Ketika diprotes dia bilang “R” bukan Raden, tapi Rakyat.
Masyarakat tradisional feodal lebih mementingkan ‘ascription’, sebutan gelar, daripada ‘achievment’, prestasi pencapaian.
Ijazah masih lebih dipentingkan daripada keterampilan.
Perjokian guru besar menjadi bukti merosotnya etika akademik. Tentu perjokian ini tidak gratis.
- Di Hadapan Akademik UGM, Eddy PAN Ungkap Pentingnya Kebijakan Berbasis Data
- Universitas Bakrie Kukuhkan Prof. Dr. Siti Rohajawati Jadi Guru Besar di Bidang Knowledge Management
- BINUS University Kukuhkan 7 Guru Besar Sekaligus di Awal 2025
- Eddy Soeparno akan Bicara Urgensi Energi Terbarukan di Hadapan Dosen hingga Mahasiswa
- Kasus Hasto Harus Dijadikan Momen Hukum Tak Bisa Dipermainkan Penguasa
- Meresmikan Kantor Sekretariat Asosiasi Tenis Profesor, Nana Sudjana: ATP Harus Murup