Propaganda via Media Sosial sangat Berbahaya
jpnn.com, JAKARTA - Pengamat ekonomi politik Christianto Wibisono mengatakan, ada persekongkolan para elite dan politisi yang mendesain demonstrasi besar beberapa waktu lalu.
Tujuannya ialah untuk mengulang kembali sejarah kelam masa lalu, yakni pada 1966 dan 1968.
"Seperti penolakan BEM atas gesture presiden menerima di Istana. Persis seperti kala Mayjen Soeharto menolak Presiden Soekarno ke Halim 1 Oktober 1965," kata Christianto dalam seminar bertajuk Muara Unjuk Rasa: NKRI Mau Dibawa Ke Mana? di Jakarta, Kamis, (3/10).
Sementara itu, pengamat intelijen Suhendra Hadikuntono mengatakan masalah pokok soal konflik selama ini terletak pada komunikasi pada tim intelijen.
"Naluri intelijen itu harus diasah. Saya berharap presiden sudah paham dan juga bisa merasakan bahwa tanpa kemampuan unit intelijen yang kuat bisa mengancam stabilitas keamanan negara," ungkap Suhendra.
Pengamat pertahanan dan militer Connie Rahakundini mengatakan, aksi-aksi selama ini merupakan wujud dari perang masa depan yakni peran media sosial.
“Maka dari itu, untuk menyelesaikannya tidak bisa dengan cara turun ke jalan,” kata dia.
Dia menambahkan, pemerintah harus membuat strategi dengan mengalokasikan anggaran besar dalam mengantisipasi perang masa depan atau perang modern seperti yang terjadi beberapa pekan terakhir.
Pengamat ekonomi politik Christianto Wibisono mengatakan, ada persekongkolan para elite dan politisi yang mendesain demonstrasi besar beberapa waktu lalu.
- Inilah Sejumlah Kekhawatiran Para Ibu Asal Indonesia Soal Penggunaan Media Sosial di Australia
- Mas Ghif Ungkap Cara Kerja Propaganda yang Efektif di Era Digital
- Kuki Nabilla Sampaikan Harapan untuk Masa Depan Indonesia Lewat Lagu
- Puluhan Massa dari AMPPUH Gelar Demonstrasi, Begini Tuntutan Mereka
- 2 Demonstran Ditangkap Buntut Aksi Anarkistis yang Menewaskan Anggota Satpol PP Lebak
- Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Sulsel Berdemonstrasi di Depan Istana Presiden, Begini Tuntutannya