Puan Maharani, NU dan Muhammadiyah

Oleh: H. Adlan Daie, Wakil Sekretaris NU Jawa Barat (2010-2021)

Puan Maharani, NU dan Muhammadiyah
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Politik dan Keamanan sekaligus Ketua DPR RI Puan Maharani bersama Direktur Utama Pameran dan Museum Internasional Sejarah Nabi Muhammad SAW dan Peradaban Islam Syaikh Dr. Yahya Atiyah Al-Kinany. Dok. Humas DPR RI

Kakek dan ibunya, Bung Karno dan Megawati, memiliki relasi.kuat dengan NU, mengutip Gus Yahya ketua umum PBNU, bukan sekedar patner, lebih dari itu, "senyawa" dalam perjuangan kebangsaan.

Dari "trah" nenek dan ayahandanya, yakni ibu Fatmawati dan Taufiq keimas, Puan memiliki relasi organisatoris dengan Muhammadiyah.

Dengan demikian jelaslah relasi Puan dengan NU dan Muhamadiyah. Karena itu Puan mengerti Islam, memahami keragaman corak ekspresi keislaman di Indonesia.

Dalam diksi Bung Karno dalam bukunya "Galilah Api Islam" (1966) Puan mengerti "api" dan "abu" nya Islam. Api dan prinsip prinsip Islam harus selalu "dinyalakan" tapi "abu" atau ekspresi corak budayanya, meminjam istilah Gusdur harus "dipribumisasikan" dalam budaya khas Indonesia tentu dengan spirit berkemajuan.

Hal penting yang hendak digarisbawahi dari tulisan singkat ini selain menjelaskan proporsi keislaman Puan dan relasinya dengan NU dan Muhammadiyah di atas adalah bahwa penggunaan "politik identitas" dengan narasi-narasi keagamaan secara konfliktual sangat berbahaya dalam kontestasi politik.

Berpotensi merusak harmoni sosial dan sendi-sendi kebangsaan.

Ongkos sosialnya terlalu mahal bagi keindonesiaan yang beragam.

Di sinilah urgensi ormas-ormas Islam di Indonesia harus terlibat dan melibatkan diri meletakkan kekuatan moral agama dalam dinamika kontestasi politik dan mencegah agama menjadi alat "politik identitas" untuk menyerang pihak lain dalam persaingan politik.

Adlan Daie memiliki tanggung jawab keagamaan untuk meletakkan konsep Islam Merah Putih dalam proporsi yang dimaksud Puan Maharani.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News