Quo Vadis, Gollkar?
Jumat, 10 Juli 2009 – 21:27 WIB
JK memberi atmosfer baru jagat perpolitikan. Ia kritik SBY dalam Debat Capres terakhir. Sebelumnya, seakan tabu. Ia soal iklan mi instant SBY yang bahan baku gandum ekspor, sehingga memicu inflasi. Kala bersua Kadin, ia copot sepatu dan menunjukkan merek local. Ia kritik pula Boediono yang menolak menjamin proyek listrik 10.000 megawatt. Hadirin dan pemirsa memberi aplus bergelora. JK menawarkan “pembaruan” walau tak semonumental Presiden BJ Habibie yang membebaskan narapidana politik, menelorkan UU Pers sehingga tak lagi perlu SIUPP dan antipembredelan dan sensor, ranjau pers di era Orde Baru. Bahkan, atas nama demokrasi, kebijakannya tentang referendum di Timor Timur ditolak SI MPR sehingga ia tak lagi nekat maju sebagai Capres pada Pemilu 1999 lalu.
Tapi ada apa dengan JK? Ketika elektiblitas JK menunjukkan tren menaik, dan SBY katanya malah menurun, tetapi hasil Pilpres 2009 versi quick count sangat mengagetkan. Raihan suara JK, singkatan Jusuf Kalla, sang Capres dari Golkar-Hanura itu hanya mencapai sekitar 12% lebih. Bahkan di bawah perolehan Golkar pada Pemilu 2009 lalu, padahal JK juga didukung oleh Partai Hanura yang masuk 10 besar dalam Pemilu Legislatif lalu.
Baca Juga:
Berbagai kampanyenya tentang bantuan langsung tunai (BLT) yang ia prakarsai menguap bagai embun. Jauh sebelumnya, JK dikenal sebagai motor Perjanjian Malino II yang mendamaikan gejolak di Maluku serta perannya yang tak kecil dalam perdamaian dengan GAM, tapi di Aceh JK jeblok dan SBY berkibar.
Baca Juga: