Quo Vadis, Gollkar?

Quo Vadis, Gollkar?
Quo Vadis, Gollkar?
Masalahnya, apakah SBY bisa “membuka pintu” bagi partai yang menjadi seterunya dalam Pilpres 2009 lalu? Memang, semua mungkin dalam politik. SBY membutuhkan dukungan kuat di parlemen. Meskipun perolehan kursi partai-partai pendukung SBY di atas 50%, tetapi membiarkan fraksi Golkar bersekutu dengan PDIP dan Gerindra di parlemen rada riskan juga.

Bagaimana pula dengan penerimaan partai pendukung SBY, seperti PKS, PAN, PKB, PBB, PPP dan sebagainya? Apakah mereka legowo seperti terjadi pada 2004 lalu? Risikonya, distribusi kursi menteri menjadi tak terelakan. Padahal, Golkar sama sekali tak “berkeringat” dalam memenangkan SBY-Boediono.

Analisis lainnya adalah bagaimana prosfek Demokrat pada Pemilu 2014, pada saat SBY tak lagi bisa mencalonkan diri karena sudah dua priode presiden. Nah, sekiranya Golkar masuk ke kabinet dan fraksinya menjadi pendukung kebijakan pemerintah, maka pesaing Demokrat pada 2014 justru adalah Golkar. Tapi sesolit apapun sebuah koalisi selalu merapuh di saat kepentingan politik berbeda.

Dilema inilah yang dihadapi SBY dan Demokrat. Jika Boediono tak memungkinkan menjadi Capres pada 2014, namun tokoh Golkar yang sekiranya menjadi menteri dalam kabinet SBY-Boediono, sangat mungkin tampil sebagai kandidat Capres. Selain mempunyai partai yang tergolong besar, tokoh-tokoh Golkar juga sudah mempunyai jam terbang yang lumayan. Sebutlah nama seperti Agung, Aburizal dan Surya Paloh.

JK memberi atmosfer baru jagat perpolitikan. Ia kritik SBY dalam Debat Capres terakhir. Sebelumnya, seakan tabu. Ia soal iklan mi instant SBY yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News