Radikal LaVani
Oleh Dahlan Iskan
Kamis, 07 November 2019 – 04:24 WIB
Lalu saya tinggalkan HP di teras. Kemudian diajak duduk di meja rapat --di ruang depan.
Ruang itu tidak asing bagi saya. Sudah sering saya diterima beliau di situ. Dulu. Saat masih menjadi sesuatu.
"Nyuwun duko," kata saya lagi --setelah duduk di kursi.
Kami hanya berdua. Sunyi.
Di luar rumah cuaca dingin. Hujan baru reda. Waktu berjalan dari pendopo ke kediaman ini pun beberapa tetes hujan masih tersisa.
"Kami kaget Bu Ani meninggal begitu cepat. Mungkinkah tim dokter terlalu agresif?" celetuk saya.
Pak SBY terdiam agak lama. Lalu menarik nafas panjang.
"Tidak juga, Pak Dahlan," katanya lirih. "Semua sudah sesuai dengan protokol penanganan kanker darah," ujar beliau.
Saya melihat Pak SBY masih begitu sedih. Wajahnya masih penuh duka. Pun setelah lima bulan berlalu.
BERITA TERKAIT