Rajapaksa

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rajapaksa
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa (kanan) dan saudara laki-lakinya, mantan presiden Mahinda Rajapaksa (kiri). Foto: ANTARA/REUTERS/DINUKA LIYANAWATTE/TM

Alih-alih pertanian organik berkembang, produksi pangan malah merosot dan mengakibatkan krisis pangan. 

Krisis ekonomi memburuk setelah diantam oleh pandemi Covid-19. Pariwisata yang selama ini menjadi salah satu andalan, anjlok menjadi hampir nol. Pemasukan dari devisa tenaga kerja asing Sri Lanka yang bekerja di luar negeri juga merosot tajam.

Situasi menjadi makin akut setelah terjadi invasi Rusia terhadap Ukraina Februari silam. 

Pasokan gas menjadi makin seret dan Sri Lanka mengalami tiga krisis sekaligus, yaitu krisis keuangan, krisis energi, dan krisis pangan. Inilah tiga pukulan telak beruntun yang membuat Sri Lanka KO.

Gotabaya Rajapaksa menjadi presiden sejak 2019. Krisis ini merupakan yang terburuk sejak negara itu merdeka pada 1948.  

Negara itu mengalami kekurangan mata uang asing karena habis untuk membayar utang luar negeri. Akibatnya, antara lain, Sri Lanka tidak bisa membayar impor bahan bakar yang akhirnya menjadi pemicu krisis ekonomi yang lebih parah.

Alat-alat kesehatan dan obat-obatan sulit didapat. Kondisi kesehatan rakyat makin merosot. Ekonomi Sri Lanka yang sebelumnya sempat booming karena pariwisata dan devisa dari luar negeri mendadak ambruk dan rakyat menjadi sangat miskin. Uang lokal tidak ada artinya karena infalsi yang menggila.

Bank Sentral mengatasi kriris dengan mencetak lebih banyak uang. Akibatnya uang beredar terlalu banyak yang barang tidak tersedia di pasar. Akibatnya inflasi makin menggila. Puncaknya, pemerintah tidak bisa membayar cicilan utang.

People power menumbangkan rezim yang tidak kompeten mengurus negara. Politik dinasti keluarga Rajapaksa akhirnya ambyar dipaksa mundur oleh kekuatan rakyat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News