Rapuh di Modal Sosial, Kuat di Tanaman Keras
Minggu, 24 Agustus 2008 – 22:55 WIB
AKANKAH India menjadi bukti dari tesis ’’demokrasi dulu baru kemudian makmur?’’ Artinya, apakah tanda-tanda akan terjadinya kemajuan pesat sekarang ini buah dari demokrasinya yang sudah dia jalani selama 60 tahun? Akankah India jadi bukti bahwa untuk berdemokrasi tidak perlu nunggu makmur dulu seperti yang terjadi di Taiwan, Korea, dan kemungkinan Tiongkok nantinya? Untuk menjadi maju seperti sekarang, Tiongkok memang perlu menderita dalam sistem komunisme selama 40 tahunan. Demikian juga, untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti belakangan ini, India perlu menderita dalam sistem demokrasi murninya selama 60 tahunan.
Kini, Tiongkok memang sudah kelihatan lebih maju 20 tahun lebih cepat dari India. Tapi, Tiongkok masih harus melewati satu ujian: bagaimana bisa melewati masa transisi ke bentuk demokrasinya kelak. Apakah akan lancar sebagaimana di Taiwan dan Korea? Atau akan seperti Indonesia yang prosesnya sangat ’’keras’’ dan menghabiskan waktu 10 tahun?
Saya sendiri memperkirakan masa transisi ke demokrasi itu akan bisa dilewati Tiongkok dengan soft landing. Ibarat kungfu, Tiongkok akan punya banyak jurus mabuk sekali pun. Proses menjadi demokrasi di tengah masyarakat yang sudah lebih makmur akan lebih lancar karena rakyatnya sudah lebih dewasa. Ibarat main kungfu pula, kelasnya mudah naik karena fisiknya sudah sangat baik.
Karena itu, saya memperkirakan dalam 15 tahun ke depan Tiongkok sudah akan menjadi negara demokrasi. Yakni, setelah Tiongkok berhasil membangun pedesaannya yang sudah dimulai sejak lima tahun yang lalu. Memberikan demokrasi sekarang, kelihatannya dianggap masih rawan karena kesenjangan kota-desa, timur-barat, pantai-pedalaman, dan kaya-miskin masih sangat lebar. Indeks Gini Tiongkok masih berada di tingkat 4,6. Saya memperkirakan Tiongkok akan membuka sistem demokrasinya setelah indeks Gini-nya mencapai 3,8 atau 4.
(Indeks Gini adalah tolok ukur untuk melihat tingkat kesenjangan kemakmuran penduduknya. Kian kecil angkanya, kian baik tingkat pemerataannya. Indeks Gini Inggris 3,1 dan yang terbaik Swedia 2,3. Memang, indeks Gini bukan satu-satunya ukuran kebaikan, karena bisa saja di suatu negara indeks Gini-nya bagus karena masih sama-sama miskin. Indeks Gini India dan Indonesia sama: 3,6)
India tidak perlu lagi melewati proses tersebut. Tapi, India telanjur ketinggalan jauh. Itu bukan berarti India tidak punya persoalan besar. India masih harus menghadapi ujian berat: apakah teori ’’bahwa air itu pasti menetes’’ (trickle down effect theory) akan berjalan baik di India. Artinya, apakah uang yang beredar di lapisan atas yang mulai banyak yang kaya itu juga bisa menetes cukup deras ke bawah. Apakah jari-jarinya sangat rapat, sehingga air yang di telapak tangan itu tidak menetes sama sekali. Maksudnya, apakah dalam proses kemajuan ini, tetap saja yang kaya akan menjadi semakin kaya, sehingga kesenjangannya dengan yang miskin kian melebar.
Bagaimana dengan bidang sosialnya? Sangat menarik membandingkan India dengan Tiongkok. Bahkan, saya menarik kesimpulan modal sosial-lah (social capital) yang akan membedakan capaian kemajuan di dua negara. Di Tiongkok, social capital-nya luar biasa kuat. Wanita di Tiongkok sama produktifnya dengan laki-laki.