Redistribusi Aset & Semangat Demokrasi Ekonomi
Oleh Irman Gusman*
Profesor strategi korporasi pada Universitas Michigan itu menjelaskan strategi tersebut dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat sekaligus mengentaskan kemiskinan sehingga kaum tertinggal pun dapat memperoleh "perhatian yang bermartabat" dari sektor swasta besar —suatu keuntungan yang sering dinikmati hanya oleh kelas menegah dan atas.
Untuk merealisasikannya, maka tata kelola penguasaan lahan perlu disempurnakan secara berkeadilan agar tidak terjadi monopoli ruang yang merugikan rakyat. Maklumat Sultan Hamengkubowono IX pada 5 September 1945 bahwa ‘takhta untuk rakyat, tanah untuk rakyat’ jelas masih relevan diterapkan di masa sekarang. Kekuasaan dan Tanah Air Indonesia ini memang untuk seluruh rakyat.
Saya teringat ekonom terkenal asal Peru, Hernando de Soto, yang dalam bukunya The Mystery of Capital dan The Other Path menekankan perlunya merekam kegiatan ekonomi informal yang melibatkan UMKM di negara-negara berkembang. Dia mengadvokasi rekognisi legal terhadap hak milik tanah masyarakat golongan bawah untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi dari bawah ke atas demi mengentaskan kemiskinan sebagai strategi pemerataan.
Paradigma baru tentang redistribusi aset yang dikemukakannya juga menyoroti kondisi rakyat yang tadinya menjadi tuan tanah akhirnya berubah menjadi “pengemis yang duduk di atas periuk emas”. Tanahnya kaya, tetapi rakyatnya miskin dan tak ikut menikmati kekayaan negerinya karena aset-aset mereka hanya ‘menjadi dead capital’.
Kondisi serupa itu terjadi juga di Indonesia. Oleh karena itu apabila entrepreneurial spirit dikembangkan, kelas menengah diperluas, koperasi diutamakan, dan UMKM diberdayakan, akan terjadi perubahan besar dalam struktur perekonomian kita sehingga kelompok usaha besar hanya perlu beroperasi di sektor industri untuk menghasilkan nilai tambah bagi produk-produk yang dihasilkan oleh pelaku ekonomi di semua daerah.
Selama ini UMKM dan koperasi tidak memiliki akses pasar dan pendanaan yang memadai karena tak berskala sehingga tak bankable. Padahal, pemberdayaan koperasi sebagai badan usaha milik rakyat akan menumbuhkembangkan potensi ekonomi di semua daerah, termasuk untuk menciptakan pemerataan secara berkelanjutan.
Konsep ekonomi kerakyatan seperti itu juga diadvokasi oleh Bung Hatta yang dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Pandangannya ialah dengan koperasi maka banyak warga masyarakat bisa terlibat untuk membangun perekonomian dari bawah (bottom-up growth) atau terbalik secara diametral dari teori trickle-down effect yang tak pernah menjadi kenyataan maupun teori ekonomi liberal kapitalistik yang membatasi peluang masyarakat golongan bawah untuk memperbaiki nasib.
Di tengah samudra pasar bebas dunia, semestinya kita tak perlu terkekang dan tunduk kepada setiap tekanan negara lain yang menganut sistem ekonomi liberal kapitalistik. Sebab, tekanan dari negara bersistem liberal kapitalistik hanya akan melumpuhkan pelaku ekonomi di dalam negeri di tengah persaingan dunia yang sekarang menggunakan hukum rimba.
Jika entrepreneurial spirit dikembangkan, kelas menengah diperluas, koperasi diutamakan, dan UMKM diberdayakan, struktur perekonomian akan berubah signifikan.
- Pemalsuan SHGB-SHM di Desa Kohod Tangerang Telah Terjadi Sejak Tahun 2021
- DKP Banten Menyokong Data Pagar Laut yang Diusut Bareskrim
- Suku Bajo dan Banyak Lagi Bukti Legalitas Sertifikat Lahan di Atas Laut
- Massa ARM Minta Polri Usut Pagar Laut yang Dipasang pada Era Jokowi
- Nana Sudjana Tanggapi Pengesahan Raperda Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Kecil
- Pembongkaran Pagar Laut Tangerang Hampir Selesai, Kok, Belum Ada Tersangka?