Redistribusi Aset & Semangat Demokrasi Ekonomi

Oleh Irman Gusman*

Redistribusi Aset & Semangat Demokrasi Ekonomi
Senator DPD RI Irman Gusman melihat pameran foto di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Foto: arsip JPNN.com/Ricardo

Lihat saja bagaimana Amerika Serikat bertikai dengan Kanada, Meksiko, dan China akibat kebijakan Presiden Donald Trump menaikkan tarif 25 persen pada produk ekspor mereka. Intisari dari perselisihan itu ialah tekad untuk mendahulukan kepentingan dalam negeri. 

Kita dapat menarik pelajaran dari cara negara-negara itu membela kepentingan dalam negerinya masing-masing dengan menggelorakan semangat Indonesia First. Perjanjian WTO pun bisa tidak dipatuhi ketika kepentingan dalam negeri diprioritaskan.

Oleh kerena itu, kita perlu mewaspadai eskalasi perang dagang tersebut yang dapat berakibat pada pemasukan devisa ekspor dan kinerja pelaku ekonomi dalam negeri. Namun, dibutuhkan strategi yang tepat untuk memberdayakan pelaku ekonomi di semua daerah tanpa mengorbankan eksistensi korporasi besar.

Strategi itu juga memerlukan serta kerja sama bisnis dan ekonomi dengan negara-negara lain sebagai perwujudan demokrasi ekonomi yang perlu diciptakan untuk menghadirkan keadilan. Sebab, absennya keadilan ekonomi yang menyuburkan monopoli ruang telah melahirkan oligarki ekonomi-politik yang menyayat hati rakyat.
 
Keberhasilan penataan ruang darat, laut, dan udara tidak diukur dari seberapa banyak ruang-ruang itu dikuasai oleh segelintir pelaku ekonomi di lapisan teratas piramida sosial, tetapidari kenaikan taraf hidup masyarakat di lapisan bawah, termasuk kaum buruh, petani, nelayan serta pekerja-pekerja lainnya di berbagai daerah yang masih merangkak di sektor informal. Ini bisa terjadi apabila kita menerapkan strategi bottom-up growth agar terjadi pemerataan secara berkeadilan.
 
Satu contoh sederhana tentang bottom-up growth itu dapat kita lihat di Selandia Baru yang sudah menghasilkan petani-petani sekelas pengusaha. Dalam suatu kunjungan saya ke sana, saya menemukan sejumlah petani yang sedang makan dan bersenang-senang di restoran Jepang.

Di waktu luang, mereka pergi bermain golf. Para petani itu membiayai keluarganya yang bekerja di kota, bukan sebaliknya.
 
Memang hal itu membutuhkan re-orientasi strategi untuk memberdayakan masyarakat kelas bawah agar anak dan cucu mereka tidak mengalami nasib seperti mereka. Jika di berbagai daerah anak petani masih menjadi petani, anak nelayan tetap mengalami nasib seperti orang tuanya, berarti bottom-up growth belum tercapai, economic justice belum terwujud, dan demokrasi ekonomi belum terjadi. 

Dengan latar belakang kontemplasi di atas, maka kasus besar yang kini mengusik perhatian masyarakat —pagar laut di perairan Tangerang— sepatutnya dijadikan pemicu untuk membongkar gunung es di samudra monopoli ruang yang semakin dinikmati kelompok ultra-kaya. Bagaimanapun pameran ketidakadilan itu telah menyayat rasa keadilan masyarakat yang kian lelah dan gelisah.

Presiden Prabowo diyakini tak akan membiarkan masalah ini berlarut-larut. Tampilnya Prabowo sebagai kepala negara juga memberikan sinyal tegas bahwa kepemimpinannya adalah akhir masa bagi aturan hukum yang direkayasa seenaknya, disiasati, dan ditransaksikan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok

Kalau benar hukum adalah panglima, mantan Panglima Kostrad yang kini menjadi Presiden RI itu dapat bertindak tegas untuk menghapus monopoli di segala bidang agar tidak menimbulkan berbagai spekulasi miring di masyarakat.

Jika entrepreneurial spirit dikembangkan, kelas menengah diperluas, koperasi diutamakan, dan UMKM diberdayakan, struktur perekonomian akan berubah signifikan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News