Refleksi Akhir Tahun 2024 Tentang Penegakan Hukum di Indonesia

Oleh: Agus Widjajanto - Praktisi hukum di Jakarta sekaligus Pemerhati masalah Sosial Budaya dan Sejarah Bangsanya

Refleksi Akhir Tahun 2024 Tentang Penegakan Hukum di Indonesia
Praktisi hukum Senior Agus Widjajanto. Foto: Dokumentasi pribadi

Secara sederhana Tranplantasi hukum diartikan sebagai sebuah proses tranfer atau peminjaman konsep hukum antarsistem hukum yang ada. Contohnya Indonesia yang menganut sistem Eropa Contonental, menggunakan sistem Juri dari sistem Anglo Saxon.

Atas dasar tranplantasi hukum maka sistem juri dapat dan bisa diterapkan di Indonesia. Dengan sistem juri, hakim hanya bersifat pasif memimpin sidang, karena yang memutuskan perkara adalah para Juri (yang nota bene bisa berlatar belakang hukum bisa juga berlatar belakang non hukum).

Dipilih oleh negara dengan cara acak, karena yang diutamakan adalah dari sisi keadilan sebagai "rasa" yang dipandang mewakili perasaan keadilan masyarakat.

Dengan sistem Juri tersebut maka peluang terjadinya mafia hukum/peradilan dan tindakan kesewenangan hakim dalam memutus perkara atas nama kemandirian/kewenangan atau imparsial sejauh mungkin bisa dicegah atau setidaknya ditutup dengan sistem Juri tersebut.

Hal ini merupakan pandangan hukum progresif, demi tegaknya hukum itu sendiri di negeri ini, yang didambakan oleh setiap insan Anak Bangsa biar hukum sebagai Panglima bisa terwujud.

Sedangkan tindakan poltik hukum yang paling ekstreim adalah perlu keberanian dari pemerintah untuk mengambil langkah berani terhadap lembaga hukum tertinggi yang dianggap sudah tidak lagi memberikan rasa keadilan, yakni ganti seluruh jajaran Hakim Agung di Mahkamah Agung dengan mencari hakim hakim yang dipandang jujur dan punya integritas dan kapabilitas dalam penegakan hukum.

Masih banyak hakim tingkat pertama, yang penulis rasa baik, jujur dan mengedepankan rasa keadilan tetapi tidak bisa naik jenjang lebih tinggi karena kalah dalam persaingan jabatan.

Untuk ini yang perlu diperbaiki adalah menyangkut rekruitmen dan proses penerimaan calon Hakim Agung agar tidak berafiliasi dengan kepentingan politik. Untuk itu, akan lebih baik dihilangkan aturan harus ‘fit and proper tes’ di lembaga DPR, tetapi murni berdasarkan kajian dan pilihan dari Mahkamah agung yang diajukan kepada Presiden melalui kementerian Hukum dan HAM.

Hukum merupakan alat untuk memcapai keadilan hanyalah Lips Service belaka. Yang terjadi adalah hukum merupakan subordinat dengan kekuasaan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News