Reformasi Kebijakan Pangan untuk Seimbangkan Inflasi

Reformasi Kebijakan Pangan untuk Seimbangkan Inflasi
Ilustrasi. Foto: Kementan

Situasi ini, menurut peneliti Center for South East Asia Study yang mendalami migrasi tenaga kerja di sektor pertanian di negara-negara Asia, tidak perlu dikhawatirkan akan menurunkan pertumbuhan produksi pangan asalkan teknologi yang diperlukan dipersiapkan dengan baik.

Pemerintah telah mengantisipasi dengan pemanfaatan 180 ribu alat mesin pertanian untuk mengurangi beban kerja petani dan meningkatkan  efisiensi produksi.

Fakta menunjukkan selama 32 tahun terhitung mulai 1984 hingga 2014, pembangunan pertanian Indonesia masih tergantung impor untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

Kini, sepanjang 2015 sampai dengan 2016 Indonesia telah mampu meningkatkan produksi pangan strategis sehingga volume impor turun bahkan tidak impor untuk beras, bawang, dan cabai, serta impor jagung dapat ditekan 66 persen.

Secara terperinci produksi komoditas strategis dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan. Produksi padi naik sebelas persen, jagung (21,8 persen), cabai (2,3 persen), dan bawang merah (11,3 persen).

Peningkatan produksi komoditas unggulan peternakan, daging sapi naik 5,31 persen, telur ayam (13,6 persen), daging ayam (9,4 persen), dan daging kambing (2,47 persen).

Begitu pun produksi komoditas perkebunan, tebu naik 14,42 persen, kopi (2,47 persen), karet (0,14 persen), dan kakao (13,6 persen).

Terkait neraca produksi dan konsumsi beras yang dihitung oleh Direktur Eksekutif Departemen Riset Kebijakan Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Dody Budi Waluya, perlu dikoreksi.

Kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) yang menurun bukan selalu berarti sektor pertanian tidak berkembang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News