'Rekayasa' 5 Paragraf Sukarno dan Kekesalan Hatta
Hasan Aspahani
Tidak ada orang yang berteriak "Kami menghendaki Bung Hatta". Aku tidak memerlukannya. Sama seperti juga aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.
Peranan yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Sukarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan "pemimpin" ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatera dan di hari-hari yang demikian itu aku memerlukan seorang dari Sumatera. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia.
Dalam detik yang gawat dalam sejarah inilah Sukarno dan tanah-air Indonesia menunggu kedatangan Hatta."
Inilah lima paragraf Sukarno yang hendak diluruskan oleh Hatta. Seharusnya Sukarno sempat membaca karena buku Hatta itu terbit enam bulan sebelum Sukarno meninggal pada tanggal 21 Juni 1970. Sukarno seharusnya juga lebih dahulu telah membaca - sebelum dan sesudah terbit - versi terjemahan buku biografinya yang memuat apa yang menjadi sumber kekesalan Hatta itu. Jika paragraf itu hasil "rekayasa", kenapa Sukarno tak pernah meralat itu semasa hidupnya?
Dalam kajian sejarah Indonesia, khususnya dalam meninjau hubungan dwitunggal Sukarno-Hatta bagian ini memang disesalkan oleh banyak pihak. Syafi'i Maarif pernah "marah-marah" di depan keluarga Sukarno saat peringatan 100 Tahun Bung Karno (Tempo No.44, 29 Desember 2014 - 4 Januari 2015). Soalnya tidak selesai ketika paragraf itu dihapus ketika edisi terjemahan ulang biografi tersebut terbit pada 2007. Jika ini sebuah rekayasa, siapa yang melakukannya? Dan apa tujuannya?
Cindy Adams membantah menuliskan bagian itu di versi aslinya yang berbahasa Inggris. Mayor TNI Angkatan Darat Abdul Bar Salim si penerjemah juga sudah meninggal sehingga tak lagi bisa dimintai konfirmasinya. Tetapi anak kandung sang penerjemah Erwin Salim memastikan bahwa ayahnya tidak merekaya. "Masagung waktu itu mempertemukan bapak saya dengan Sukarno dan Cindy Adams. Kalau ada kesalahan, tentu Sukarno tahu," ujarnya seperti diberitakan Tempo.
Sekali lagi, apakah ini sebuah rekayasa sejarah yang sengaja mencampur aduk "Wahrheit" dan "Dichtung", untuk "merendahkan" Sukarno? Mungkin. Kenapa inisiatif menerbitkan buku ini seakan-akan hendak dikesankan berasal dari kalangan militer yang bekuasa? Ketika terbit di tahun 1966, pada buku ini disertakan salinan tulisan tangan memo Suharto yang secara khusus menyebutkan siapa penerjemahnya, dan tujuan penerbitan yaitu agar "...rakyat Indonesia dapat mengetahui riwayat hidup para pemimpinnya, seperti yang dialami dan diceritakan sendiri oleh Bung Karno".
Cindy Adams mengumpulkan bahan untuk buku itu antara tahun 1961-1964. Ia menghabiskan banyak waktu - dan kopi tubruk - untuk wawancara dengan Sukarno di teras Istana Negara, setiap pagi mulai 06.30. Ia juga mengunjungi banyak tempat, menemui banyak tokoh untuk mendapatkan gambaran utuh tentang Sukarno. Ia juga menemui Hatta dan Sjahrir. Hatta, menurut Cindy, bahkan pernah menemani Sukarno ketika sesi wawancara itu berlangsung.
APA kewajiban ilmu sejarah? Yaitu memisahkan antara "Wahrheit" dan "Dichtung", memisahkan antara yang dibuat-buat dan yang
- Usut Tuntas Kasus Penembakan Polisi di Solok Selatan: Menunggu Implementasi Revolusi Mental Polri
- Laut China Selatan, Teledor Atau Terjerat Calo Kekuasaan
- Kelapa Sawit untuk Pembangunan Berkelanjutan
- Kapan Seorang Anak Mulai Memiliki Cita-Cita?
- Problematika Penanganan Perkara Judi Online
- Napoleon Der Bataks: Kisah Perjuangan Tuan Rondahaim Saragih