Serial Gerakan Tata Ruang dan Ekonomi Hijau

Rencana Tata Ruang, Instrumen Strategis Cipta Kerja

Oleh: Anton Doni Dihen

Rencana Tata Ruang, Instrumen Strategis Cipta Kerja
Direktur Teras Hijau Indonesia sekaligus Penggagas Gerakan Tata Ruang dan Ekonomi Hijau Anton Doni Dihen. Foto: Dokumentasi pribadi

Sementara regulasi tentang KLHS baru muncul tahun 2016, melalui PP 46/2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, mengikuti perkembangan internasional dengan kemunculan strategis environmental asssessment (SEA), yang mau melengkapi Amdal karena cakupan Amdal yang terlalu mikro.

Maka perubahan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum menjadi Perturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota kemudian memuat ketentuan mengenai pengintegrasian KLHS.

Kita tentu perlu terus mengkaji, apakah ketentuan-ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS dan ketentuan-ketentuan sektoral yang lebih operasional yang mengatur pengintegrasian KLHS memadai atau tidak. Terlihat ada soal mengenai kelembagaan yang menyelenggarakan KLHS, demikian pula ketentuan mengenai identifikasi dan penajaman prioritas isu-isu pembangunan berkelanjutan.

Tentang kelembagaan, perlu diketahui bahwa kelembagaan penyelenggara KLHS adalah penyusun kebijakan itu sendiri, yang berarti tidak independen terhadap penyusun kebijakan. Posisi seperti itu bisa saja menyulitkan penyelenggara KLHS dalam memberikan perspektif atau pendirian yang berbeda atau korektif.

Sementara terkait penajaman isu-isu prioritas, PP KLHS telah memberikan cakupan-cakupan isu contoh, yang aplikasinya dapat membimbing pelenggara KLHS untuk hanya memperlakukan isu-isu tersebut sebagai isu-isu strategis utama dan mengabaikan isu lainnya.

Namun demikian, sementara kualitas RDTR dan sifat keberlanjutannya yang hendak dipastikan melalui KLHS merupakan hal yang membutuhkan perhatian, fakta tentang lambannya penyediaan RDTR merupakan persoalan yang serius.

Pada suatu berita di 8 Juni 2018, pada waktu itu baru ada 41 RDTR yang dibuat dan menjadi Perda, sementara 1.797 Perda RDTR belum dibuat. Itu berarti, capaian baru 2,2 persen.

Setelah itu pada berita lainnya di 11 Maret 2020, hingga saat itu baru ada 55 RDTR, dan ditargetkan ada tambahan 57 RDTR pada tahun 2020. Entah berapa jadinya tambahan di 2020. 

Undang-Undang Cipta Kerja menyediakan banyak kemudahan untuk investasi dan kegiatan berusaha. Di antara berbagai kemudahan tersebut, penyederhanaan perizinan adalah bentuk kemudahan yang menonjol.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News