Restorasi untuk Papua

Oleh: Dr. Filep Wamafma, SH, M.Hum, C.L.A

Restorasi untuk Papua
Senator dari Papua Barat, Dr. Filep Wamafma. Foto: Dokpri for JPNN.com

Jalan restorasi ini mewajibkan negara untuk menempatkan korban, pada derajat kemanusiaannya, dan kemudian berani menuntut para pelanggar HAM ke meja pengadilan.

Pada titik ini, pengembalian para pengungsi, perlindungan atas nasib dan masa depannya, termasuk menyembuhkan luka psikologisnya, menjadi hal yang mutlak dilakukan.

Bagaimana itu bisa dilakukan? Mungkin ada pesimisme tentang dibentuknya (lagi) Tim Pencari Fakta (TPF). Namun restorasi harus dimulai dari sana. TPF harus terdiri dari unsur Komnas HAM, unsur masyarakat adat Papua, unsur akademisi, dan/atau unsur masyarakat sipil lainnya.

TPF harus bergerak dari wilayah korban, dengan seobjektif mungkin menggali peristiwa, dan kemudian menyampaikannya secara langsung pada Presiden. Dalam tataran legal, TPF harus diberi dasar hukum yang kuat, agar menjadi tulang punggung dan kepercayaan korban.

Perlukah Pendekatan Militer?

Negara, sesungguhnya hadir untuk mengayomi, melindungi, memberi rasa aman. Berbanding terbalik dengan itu, negara tidak boleh berdiri di atas totalitarian militeristik. Pendekatan militer, di manapun itu, akan berdampak pada lahirnya kebencian vertikal antara negara dan warga negara.

Melepaskan senjata dalam ruang peradaban adalah senjata terbaik untuk jalan restorasi. Belajar dari DOM Aceh, pendekatan militer hanya menciptakan utopia kedamaian saja, yang ada hanyalah ketakutan yang terpendam.

Ada banyak profesi, kelompok masyarakat sipil, yang sesungguhnya bisa menciptakan bumi Papua yang damai. Jalan militer hanya menciptakan luka di atas luka, derita di atas derita.

Dalam beberapa pekan terakhir ini, kita dikejutkan oleh rentetan peristiwa berdarah, yang mendera rumah Cenderawasih, bumi Papua.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News