Revisi KUHAP: Pakar Nilai Koordinasi Prapenuntutan Jaksa-Polisi Perlu Diperluas

Revisi KUHAP: Pakar Nilai Koordinasi Prapenuntutan Jaksa-Polisi Perlu Diperluas
Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Mudzakir. Foto: dokumen JPNN.Com

Dengan begitu, menurut Mudzakir, perlu dalam prapenuntutan, saat kewajiban jaksa memperoleh pemberitahuan dimulainya penyidikan, ketika ada peristiwa-peristiwa penting yang harus diberitahu ke jaksa maka harus diberitahukan.

“Contohnya dalam kasus perkosaan maka harus tahu tentang dampak terhadap korban. Seorang penegak hukum harus tahu jiwa dari perkara itu. Dan ini bisa dipahami kalau terjun ke lapangan,” papar akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) ini.

Selain itu, lanjut Mudzakir, dengan terjun ke lapangan, maka jaksa juga bisa memberi arahan ke penyidik polisi untuk mengambil bukti-bukti hukum tertentu.

“Tidak harus formil, dikirim-balik-dikirim-balik (berkas P18, P19 dari penyidik Polri ke kejaksaan, Red),” kata Mudzakir.

Menurut Mudzakir, hal ini bisa dilakukan di semua perkara yang ditangani penyidik Polri. Termasuk kalau ada perkara yang terlalu lama ditangani Polri tapi tidak ada kelanjutannya.

“Sudah setahun SPDP tapi tidak ada perkembangan. Jaksa bisa langsung bertanya apa penyebabnya. Kalau selama ini (jika ada kasus tidak ada perkembangan) jaksa diam,” kata Mudzakir.

Perubahan dari HIR menjadi KUHAP

Terkait dengan asas dominus litis, Mudzakir menjelaskan, ada perbedaan antara saat Indonesia menggunakan Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan KUHAP, pada sekitar 1981.

Jika hanya di balik meja, kata Muzakir, maka jaksa tidak bisa mendalami perkara yang akan dituntutnya di pengadilan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News