Revisi UU TNI & Polemik Prajurit Aktif di Jabatan Publik; Antara Kekhawatiran dan Aturan

Oleh Mayjen (Purn) TB Hasanuddin*

Revisi UU TNI & Polemik Prajurit Aktif di Jabatan Publik; Antara Kekhawatiran dan Aturan
Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin. Foto: Ricardo/JPNN

Alasan kedua ialah wewenang presiden sesuai Pasal 14 UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan. Pasal itu memberi kewenangan kepada presiden sebagai pengguna kekuatan.

Artinya, kebijakan presiden untuk menempatkan prajurit TNI aktif di mana pun guna memperkuat pertahanan negara melalui penguatan lembaga lembaga pemerintahan merupakan hal yang sah.

Namun, belakangan ini memang muncul kekhawatiran tentang akan bangkitnya Dwifungsi ABRI. Sebenarnya sudah ada beragam aturan perundang-undangan yang membatasi kembali bangkitnya dwifungsi militer seperti era Orde Baru (Orba). Pada era Orba, prajurit TNI aktif bahkan dapat di tempatkan sebagai ketua partai tertentu.

Akan tetapi, kini dalam Pasal 2 UU Nomor 34 Tahun 2004 secara jelas disebutkan bahwa TNI dilarang berpolitik praktis. Saat ini aturannya jelas: TNI aktif tidak boleh berpolitik praktis!

Ada pula aturan lain yang membatasi TNI aktif berkiprah di politik, yakni UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada dan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu beserta berbagai aturan turunannya, termasuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang menyebutkan bahwa prajurit TNI aktif yang akan ikut pemilu legislatif atau pilkada diwajibkan mundur terlebih dahulu dari status sebagai prajurit TNI dan tidak bisa kembali ke TNI.

Keberadaan peraturan ini tidak memberikan celah lagi seperti di era Orba ketika prajurit TNI aktif dapat ditempatkan di lembaga legislatif dan eksekutif melalui penunjukan.

Pada masa Orba, sebanyak 100 prajurit aktif ABRI ditempatkan oleh pemerintah sebagai anggota Fraksi ABRI di DPR RI. Di luar itu masih ada posisi menteri, dirjen, gubernur, dan bupati/wali kota yang dijabat oleh anggota TNI aktif juga dengan mekanisme penunjukan. Dengan UU yang ada sekarang, praktik dwifungsi sudah tak bisa dilakukan lagi.

Pasal 47 UU TNI juga memuat pembatasan lain terhadap prajurit TNI. Ayat (3) dan (4) pasal itu mensyaratkan penempatan prajurit TNI aktif wajib harus berdasarkan permintaan kementerian/lembaga yang membutuhkan. Prajurit yang menerima penempatan itu juga harus tunduk pada aturan yang berlaku di kementerian/lembaga yang memintanya. Artinya, aturan penempatan prajurit TNI sangat ketat dan tidak sembarangan.

Mayjen (Purn) TB Hasanuddin mengulas beleid dalam Revisi UU TNI soal penugasan prajurit aktif di jabatan publik. Apakah mengembalikan Dwifungsi ABRI?

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News