Revisi UU TNI & Polemik Prajurit Aktif di Jabatan Publik; Antara Kekhawatiran dan Aturan

Oleh Mayjen (Purn) TB Hasanuddin*

Revisi UU TNI & Polemik Prajurit Aktif di Jabatan Publik; Antara Kekhawatiran dan Aturan
Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin. Foto: Ricardo/JPNN

Ada pula polemik lain, yakni revisi atas Pasal 53 Ayat 1 UU TNI yang mengatur usia paling tinggi dalam dinas keprajuritan. Usia para perwira yang semula paling tinggi 58 tahun diusulkan menjadi 60 tahun, sedangkan usia prajurit bintara dan tamtama diusulkan menjadi paling tinggi 58 tahun.

Menurut hemat saya, usul itu sudah sesuai kebutuhan dan aturan perundang-undangan lain tentang usia aparatur negara yang diatur Pasal 55 UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Secara strategis, batasan usia di atas juga masih kompatibel dengan perkembangan teknologi alutsista yang makin canggih. Selain itu, satuan di TNI juga berbeda-beda, ada satuan teritorial, satuan tempur, staf, pendidikan dan lain lain, sehingga penempatannya dapat disesuaikan dengan umur dan kesehatan prajurit yang bersangkutan.

Namun, perihal usul tentang jabatan fungsional sampai usia 65 tahun dalam revisi Pasal 53 Ayat (2) UU TNI sebaiknya dipertimbangkan ulang. Bila memang tenaga prajurit masih dibutuhkan, sebaiknya dialihfungsikan menjadi ASN.

Misalnya, apabila tenaga prajurit masih dibutuhkan sebagai tenaga pengajar di lingkungan perguruan tinggi atau peneliti/analis utama di lembaga tertentu, sebaiknya alih status saja dan ini sudah ada aturan perundang-undangannya.(**)

*Penulis adalah anggota Komisi I DPR/mantan Sekretaris Militer Presiden

Mayjen (Purn) TB Hasanuddin mengulas beleid dalam Revisi UU TNI soal penugasan prajurit aktif di jabatan publik. Apakah mengembalikan Dwifungsi ABRI?


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News